Menghitung Biaya Kerusuhan

Menghitung Biaya Kerusuhan

ILUSTRASI Menghitung Biaya Kerusuhan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Kerusuhan Demo di Jakarta, 7 Halte TransJakarta Rusak dan Terbakar

Angka itu belum mencakup kerusakan aset privat, pertokoan, dan hilangnya omzet harian pelaku usaha kecil yang memilih menutup kios lebih awal. 

Skala kerusakan melebar ketika hitungannya ditarik nasional. Kementerian PUPR mengestimasikan kebutuhan perbaikan gedung DPRD dan infrastruktur publik yang terdampak mencapai sekitar Rp900 miliar. 

Jawa Timur tercatat paling berat, termasuk kerusakan pada bangunan cagar budaya dan kantor pemerintahan. Estimasi itu mencakup perbaikan gedung, halte, gerbang tol, dan fasilitas layanan publik lain. 

BACA JUGA:Kerusuhan Demo di Grahadi: Massa Berkostum Hitam Datang tanpa Tuntutan

BACA JUGA:Soal Dalang Kerusuhan Demo DPR, Hendropriyono: Nonstate Actor, Isinya George Soros sampai Bloomberg

Di titik itu, protes yang lahir dari frustrasi ekonomi justru membebani APBD/APBN, menggeser belanja pemeliharaan dan layanan dasar ke pos rehabilitasi. 

Kerusakan fisik hanyalah satu sisi. Sisi lain adalah gangguan mobilitas. Antara melaporkan adanya pembatasan layanan angkutan –termasuk penutupan sementara sejumlah koridor– hingga penghentian operasional TransJakarta pada puncak kerusuhan. 

Dampaknya menjalar. Pekerja harian terlambat, pertemuan bisnis batal, pengiriman barang tersendat. Rantai nilai perkotaan, yang bergantung pada lalu lintas tepat waktu, mengalami ”biaya gesek” baru: keterlambatan, bahan bakar terbuang, tarif logistik naik. 

Sektor ritel dan UMKM merasakan pukulan cepat. Ketika toko menutup lebih awal dan pusat belanja mengurangi jam operasional, omzet harian menguap. 

Data mikro memang belum terkumpul penuh, tetapi pola historis selalu sama: setiap hari gangguan di ibu kota dan kota besar memotong pendapatan pelaku usaha kecil yang cash flow-nya tipis. 

Dari sisi persepsi, media internasional menyorot kerusuhan yang ”terkoordinasi di banyak kota”, menambah premis risiko di mata investor global. Financial Times menulis IHSG turun sekitar 1,5 persen bersamaan dengan pelemahan rupiah 0,8 peren pada salah satu sesi. 

The Guardian menambahkan, kerusakan properti dan korban jiwa yang meningkat mengundang travel warning dan kekhawatiran HAM. Makin banyak negara yang menerbitkan advisory, makin mahal biaya promosi destinasi (pariwisata) yang baru saja bangkit. 

Organisasi HAM ikut bicara. Amnesty International mendesak investigasi atas delapan kematian dan dugaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Di pasar, isu HAM sering dibaca sebagai risiko kebijakan: potensi sanksi, reputasi, hingga hambatan akses pasar tertentu. 

Investor institusi –terutama yang menerapkan filter ESG– akan menunggu kepastian investigasi sebelum menambah eksposur. Waktu menunggu adalah biaya kesempatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: