Gen Z: Denyut Digital Demokrasi

ILUSTRASI Gen Z: Denyut Digital Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Gen Z yang Pemberang
Di Indonesia, walaupun media sosial tidak sepenuhnya diblokir, pembatasan terhadap beberapa platform kontroversial memicu perdebatan besar mengenai kebebasan berekspresi. Akan tetapi, di tengah pembatasan itu, generasi Z tetap menggunakan TikTok, YouTube, dan Instagram untuk menyebarkan informasi dan mengorganisasi massa.
Dengan lebih dari 229 juta pengguna internet, mayoritas di antaranya adalah anak muda, media sosial menjadi platform utama mereka untuk berdiskusi dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Meski dihadapkan pada tantangan, media sosial tetap menjadi ruang untuk menyuarakan ketidakpuasan dan memperjuangkan perubahan yang mereka anggap perlu.
BACA JUGA:Kredit Macet Gen Z
Di Prancis, protes besar terjadi pada 2025 terkait rencana reformasi pensiun yang dianggap merugikan banyak pekerja, terutama generasi muda. Gerakan yang dimulai dengan tagar #ReformeInjuste cepat tersebar di media sosial dan mengundang banyak orang, terutama dari kalangan generasi Z, untuk turun ke jalan.
Dengan protes yang memuncak pada 10 September 2025, gerakan ”Block Everything” (Bloquons Tout) menunjukkan bahwa walaupun ada upaya represif dari pemerintah, media sosial tetap memainkan peran penting dalam memperkuat solidaritas di kalangan demonstran.
Meskipun kekuatan media sosial sering kali diremehkan, peristiwa itu menunjukkan bahwa saluran digital tidak hanya berfungsi untuk berbagi informasi, tetapi juga untuk menggerakkan aksi nyata di dunia fisik.
Peristiwa-peristiwa di Nepal, Indonesia, dan Prancis itu menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi alat penting bagi generasi Z untuk mengorganisasi, mengungkapkan ketidakpuasan, dan memperjuangkan perubahan.
Media sosial memungkinkan mereka untuk mengatasi hambatan yang ditetapkan oleh struktur politik dan media tradisional, memberi mereka kesempatan untuk terlibat langsung dalam proses demokrasi.
Seperti yang dikatakan Hendricks, media sosial membuka jalan bagi partisipasi langsung, memungkinkan generasi muda untuk mengakses dan memengaruhi percakapan politik dengan cara yang tidak bisa dilakukan sebelumnya.
Namun, seperti halnya dengan kekuatan besar lainnya, penggunaan media sosial juga membawa tantangan. Selain kemampuannya untuk memperbesar suara-suara yang menuntut perubahan, media sosial juga memperburuk penyebaran disinformasi dan polarisasi.
Di Nepal dan Indonesia, walaupun pemerintah berusaha mengendalikan narasi digital melalui sensor, hal itu justru memperburuk ketidakpuasan dan mendorong perlawanan lebih lanjut.
Dalam konteks ini, bagaimana kita mengelola ruang digital agar kebebasan berekspresi tetap terjaga, tetapi disinformasi dapat diminimalkan?
Manuel Castells, dalam teorinya mengenai network society, memberikan wawasan penting. Castells berpendapat bahwa masyarakat modern makin dibentuk oleh jaringan komunikasi yang memungkinkan individu untuk membentuk hubungan horizontal, menghindari struktur hierarkis tradisional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: