Solusi Perbaikan MBG

ILUSTRASI Solusi Perbaikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
KETIKA tulisan ini dibuat, Presiden Prabowo Subianto mungkin sudah menyelesaikan pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB di New York. Kehadiran beliau tentu membanggakan, terutama bagi diaspora Indonesia di luar negeri. Bagaimana tidak? Indonesia sudah absen selama sepuluh tahun di forum itu, dan kini beliau mendapat kesempatan menjadi pembicara ketiga.
Namun, di tanah air masyarakat tengah menghadapi krisis kepercayaan terhadap salah satu program unggulan presiden: Makan Bergizi Gratis (MBG). Anggaran yang digelontorkan sangat besar, mencapai Rp71 triliun, dan akan terus meningkat pada tahun berikutnya.
Sejak diluncurkan pada Januari hingga September 2025, program itu telah menjangkau 20 juta penerima manfaat dan ditargetkan mencapai 80 juta pada akhir tahun.
Sayangnya, dalam sembilan bulan pelaksanaan, tercatat 5.360 kasus keracunan makanan di berbagai daerah. Jumlah itu tidak kecil, apalagi menyangkut keselamatan anak-anak.
Sebenarnya, niat melahirkan program ini mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapat asupan gizi harian. Masyarakat juga tak mempermasalahkan besarnya anggaran, selama hasilnya sepadan.
Presiden berulang kali menekankan target jumlah penerima. Namun, apakah angka itu cukup untuk mengukur keberhasilan? Di sinilah letak akar permasalahnnya
Menurut Michael Porter, tidak ada pekerjaan yang bebas nilai. Ukuran keberhasilan ditentukan oleh value, yaitu perbandingan outcome dengan cost. Program dinilai baik bila memberikan hasil maksimal dengan biaya minimal.
Untuk itu, diperlukan audit berbasis data. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki data yang tepat untuk mendasari lahirnya MBG?
Di lapangan, tantangan MBG makin kompleks karena belum ada standar kualitas makanan yang seragam antardaerah. Menu, porsi, dan kualitas penyimpanan makanan berbeda-beda sehingga menimbulkan risiko keamanan pangan.
Selain itu, laporan masyarakat menunjukkan bahwa rantai distribusi panjang membuat sebagian anggaran habis untuk biaya logistik dan pengadaan. Akibatnya, porsi gizi yang diterima anak berkurang.
Tanpa transparansi yang memadai, masyarakat sulit mengetahui berapa persen anggaran benar-benar sampai kepada penerima manfaat dalam bentuk makanan bergizi. Padahal, kepercayaan publik hanya bisa dibangun bila ada mekanisme pelaporan terbuka.
BELAJAR DARI WIC DI AMERIKA SERIKAT
Saya teringat kisah ibu ketika mendampingi bapak kuliah S-3 di Purdue University, Amerika Serikat (1988–1991). Setiap keluarga yang memiliki balita dan ibu hamil, khususnya yang berpenghasilan rendah, mendapat bantuan voucher pangan dari pemerintah.
Voucher itu hanya bisa ditukar di tempat tertentu untuk membeli susu, daging, telur, keju, dan makanan bayi. Semua diberikan cuma-cuma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: