Gerakan Kebudayaan Kampung Bangunrejo

ILUSTRASI Gerakan Kebudayaan Kampung Bangunrejo.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Stigma itu memang tidak hilang begitu saja. Tetapi pelan-pelan, ia ditutup oleh capaian baru. Anak-anak yang dulu diwarisi beban masa lalu, kini tampil percaya diri di panggung.
Mereka mengenakan busana tari remo, reog, dongkrek, gandrung, serta menulis aksara, membaca puisi, atau memainkan musik di depan orang banyak. Kampung Dupak Bangunrejo mengubah luka menjadi kebanggaan.
OMAH NDHUWUR DAN GELIAT KULTURAL
Nama Omah Ndhuwur kini identik dengan kebangkitan Bangunrejo. Dari rumah dua lantai yang sederhana, Abdoel Semute mengajak anak-anak belajar tari remo, menghidupkan kembali kesenian yang jadi identitas Surabaya. Dari tari, berkembang ke teater, musik, literasi, bahkan kelas aksara Jawa.
Omah Ndhuwur istimewa karena konsistensinya. Ia bukan proyek sekali jadi, apalagi sebatas proyek pemerintah yang menjelma bak kisah Bandung Bondowoso. Ia lahir dari kegelisahan warga, dikelola dengan gotong royong, dan tumbuh lewat dedikasi.
Dari situlah Mbangunredjo Art Festival lahir. Setiap tahun festival itu digelar bukan sekadar sebagai pertunjukan, melainkan juga sebagai penegasan bahwa kampung itu punya suara, punya martabat, dan punya mimpi.
Kegiatan seni di Omah Ndhuwur tidak sekadar hiburan, tetapi juga bentuk perlawanan kultural. Melawan stigma yang melekat, melawan lupa, dan melawan narasi kota yang sering mengabaikan pinggiran. Anak-anak yang tampil menari di panggung festival seakan sedang berkata kepada Surabaya bahwa ”kami bagian dari kalian, dengar suara kami”.
Dalam mural-mural yang menghiasi dinding, kritik sosial dituangkan. Dalam teater, mereka menertawakan absurditas kota. Dalam musik, mereka menyalakan semangat perlawanan.
Semua itu membuat Kampung Dupak Bangunrejo tidak sekadar bertahan, tetapi juga menawarkan wajah baru Surabaya dengan wajah yang berakar di kampung dan berani bicara ke dunia luar.
BANGUNREJO SEBAGAI CERMIN KOTA
Surabaya sering dibanggakan lewat deretan mal, jalan tol layang, atau gedung pencakar langitnya. Kota itu dipromosikan sebagai modern, efisien, bahkan metropolis yang sejajar dengan kota-kota besar lain di Asia.
Namun, wajah sejati Surabaya justru bisa lebih jelas terlihat di gang-gang sempit kampungnya. Di tempat-tempat seperti Bangunrejo, denyut kehidupan kota terasa tanpa topeng: ada sejarah kelam, ada luka, tapi juga ada keberanian untuk bangkit.
Bangunrejo mengajarkan bahwa pembangunan kota tak bisa hanya diukur dengan beton dan aspal. Warga kampung, lewat gerakan budaya, menawarkan model pembangunan alternatif yang lebih manusiawi, partisipatif, dan berakar.
Di saat tata kota formal kerap mengabaikan ruang-ruang ”rongga”, Bangunrejo menunjukkan bagaimana warga bisa merebut kembali ruang hidup mereka dengan cara yang bermartabat.
Dari lokalisasi yang ditutup, dari ruang yang pernah jadi simbol gelap kota, kini lahir kampung yang penuh cahaya. Anak-anak tumbuh dengan panggung, bukan trauma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: