Gerakan Kebudayaan Kampung Bangunrejo

ILUSTRASI Gerakan Kebudayaan Kampung Bangunrejo.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DULU, setiap kali nama Bangunrejo disebut, bayangan yang muncul adalah lampu remang, kamar sempit, dan wajah-wajah lelah para perempuan yang hidup di bawah stigma. Kampung itu lekat pada kampung sebelah dengan sebutan Kremil, salah satu lokalisasi tertua di Surabaya, tempat yang dibicarakan dengan bisik-bisik, bahkan sering jadi bahan ejekan.
Kini suasana itu sudah berubah. Dari kolong tol Morokrembangan terdengar suara gamelan, lantunan kidung Jawa, atau teriakan anak-anak yang berlatih teater. Dinding-dinding rumah dihiasi mural berwarna cerah, seakan ingin menutupi bekas luka yang dulu menempel di tembok yang sama.
Di sebuah rumah dua lantai yang sederhana yang dikenal sebagai Omah Ndhuwur, anak-anak dan remaja kampung kini belajar tari remo, membaca puisi, hingga menyiapkan pertunjukan untuk Mbangunredjo Art Festival.
BACA JUGA:Kampung Kreatif Dupak Bangunrejo Meriahkan Peringatan Kemerdekaan RI dengan Sound Horeg dan Dongkrek
Kontras itu begitu terasa. Dari ruang yang dulu dianggap ”gelap”, kini tumbuh cahaya yang justru memberikan warna baru bagi Surabaya.
Kampung yang dulu ditutup rapat-rapat dari pandangan publik itu kini justru membuka dirinya sebagai pusat kebudayaan. Seakan ingin berkata, ”kami tidak lagi sekadar objek stigma, kami subjek yang bisa menentukan masa depan kami sendiri.”
DARI STIGMA MENJADI KEBANGGAAN
Bangunrejo bukan kampung biasa. Ia menyimpan babak sejarah yang panjang dan getir. Sejak dekade 1960-an, kawasan itu dikenal sebagai salah satu lokalisasi terbesar di Surabaya, bahkan Asia Tenggara.
Di sana ribuan perempuan bekerja sebagai ”teman menginap” bagi para pelaut, sopir, dan pendatang yang singgah di kota pelabuhan. Surabaya dijuluki city of work dan Bangunrejo ikut menopang gelar itu dengan cara yang tak pernah dibanggakan secara terbuka.
Ketika pemerintah kota di bawah Wali Kota Tri Rismaharini menutup lokalisasi Kremil pada 2013, luka sosial itu tidak serta-merta hilang. Banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian, sedangkan stigma tetap melekat pada anak-anak mereka.
Disebut ”anak lokalisasi” adalah beban psikologis yang berat. Sebagian masyarakat enggan menerima mereka meski dosa masa lalu jelas bukan milik mereka. Bangunrejo masih dipandang dengan tatapan curiga, seakan tidak punya masa depan.
Namun, waktu perlahan menguji. Sebab, di titik itulah warga setempat mulai bergerak. Para warga menyadari bahwa tidak ada yang bisa menghapus stigma selain mereka sendiri.
Maka, lahirlah inisiatif kultural dengan berawal dari ruang tamu sebuah rumah di bawah kolong tol, lalu berkembang menjadi Sanggar Seni Omah Ndhuwur yang didirikan Abdoel Semute.
Dari situ, identitas kampung mulai dipulihkan. Dupak Bangunrejo yang dulu hanya dikenal sebagai kawasan prostitusi itu kini dikenang karena festival budaya, mural penuh kritik sosial, pertunjukan teater, hingga kelas literasi untuk anak-anak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: