Berhala di Era Digital

Berhala di Era Digital

Ilustrasi Berhala di Era Digital.-Pexels-Pexels

HIRUK PIKUK disrupsi teknologi menghasilkan munculnya sebuah entitas baru yang mendominasi kehidupan sosial dan politik kita, yakni berhala di era digital. Berhala bukan lagi berupa patung yang disembah, melainkan representasi dari kebohongan dan paradoks yang kita bangun di ruang maya. 

Berhala itu merupakan citra yang tak sempurna dari masyarakat yang serba-”nanggung”. Fenomena tersebut adalah cermin dari proses yang terburu-buru. Sejatinya kita melewatkan tahapan penting dalam perkembangan literasi. 

Sebelum tuntas menguasai budaya baca-tulis, kita sudah dipaksa masuk ke budaya menonton. Belum lagi budaya menonton itu selesai dicerna, kita sudah dihadapkan pada era digital yang menuntut interaksi dan partisipasi yang instan. 

Alhasil, kemampuan kita untuk berpikir kritis, mencerna informasi, dan berargumen secara logis menjadi tumpul. Kita jadi mudah terpicu oleh narasi yang dangkal, emosi yang dibungkus, dan sensasi yang disajikan secara instan.

Hal itu berelasi dengan kontradiksi yang tengah menimpa masyarakat kita. Masyarakat tidak lagi malu mengaku miskin demi menerima donasi, tetapi bisa marah besar ketika kemiskinan itu dilabelkan oleh orang lain. 

Kontradiksi itu tidak hanya plin-plan, tetapi juga menunjukkan kerentanan emosional yang tercipta dari kurangnya fondasi diri, yang diperparah oleh tekanan tampil sempurna di ruang digital.

Budaya pamer atau flexing menjadi ritual sehari-hari. Mulai menu makanan, barang-barang baru yang konsumtif, hingga hal-hal yang seharusnya sakral. Itu bukan lagi sekadar kebanggaan personal, melainkan sebuah medialomania, yakni kecanduan untuk selalu tampil dan divalidasi di media. 

Bahkan, ibadah yang seharusnya menjadi interaksi intim dengan Tuhan kini berubah menjadi konten yang menuntut ”like” dan ”share”. Ironisnya, di balik semua kepalsuan itu, kita hanya sedang menyembah berhala ciptaan kita sendiri, yaitu popularitas dan pengakuan digital yang fana. 

BACA JUGA:Nasionalisme di Era Digital Disruptif

BACA JUGA:Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Bermusyawarah di Era Digital

DEMOKRASI TERDISTORSI OLEH ALGORITMA

Legitimasi seorang pemimpin, dalam konteks demokrasi, seharusnya dibangun di atas landasan kepercayaan, kinerja, dan koneksi otentik dengan rakyat. Namun, di era digital, landasan itu seolah bergeser. 

Legitimasi kini sering diukur dari seberapa besar sorotan yang didapat di media sosial, bukan seberapa efektif kebijakan yang diimplementasikan. Kita menyaksikan fenomena di mana legitimasi seorang pemimpin bisa meluruh begitu cepat di media sosial akibat sebuah isu kecil yang viral.

Fenomena itu terlihat jelas dalam kasus meluruhnya legitimasi bupati Pati yang diawali dari sebuah insiden viral di media sosial. Reaksi publik yang dipicu sentimen digital, meskipun mungkin tidak sepenuhnya mewakili substansi masalah, langsung diterjemahkan menjadi tekanan sosial yang masif. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: