Nasionalisme di Era Digital Disruptif

Nasionalisme di Era Digital Disruptif

ILUSTRASI Nasionalisme di Era Digital Disruptif-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

AGUSTUS 2025 menjadi catatan penting dalam dinamika sosial Indonesia. Serangkaian aksi mahasiswa, pekerja, hingga komunitas digital berlangsung di berbagai kota. Pemicu aksi memang beragam terkait kebijakan ekonomi, respons pejabat publik, hingga isu keadilan hukum. Namun, ada satu hal yang menarik: nasionalisme kembali menjadi rujukan utama dalam perdebatan publik. 

Bedanya, nasionalisme kini tidak hanya bergema di jalanan, tetapi juga hidup di layar gawai. Video, meme, hingga siaran langsung aksi menjadi simbol baru kecintaan kepada bangsa. Pertanyaan mendasarinya, bagaimana wajah nasionalisme di era digital disruptif?

BACA JUGA:Dari Pena ke Postingan: Nasionalisme dalam Bayang-Bayang Simulasi

BACA JUGA:Refleksi HUT Ke-80 Kemerdekaan RI: Globalisasi dan Imunitas Nasionalisme Kita

Christian Fuchs menekankan bahwa internet adalah arena ideologis. Di ruang itulah nasionalisme bisa berfungsi emansipatoris dengan menguatkan solidaritas, mendorong rasa kebangsaan, dan menggerakkan aksi kolektif. 

Namun, ia juga bisa menjelma eksklusif, mempersempit makna kebangsaan, hingga memunculkan ujaran kebencian. Fenomena Agustus 2025 menunjukkan dua wajah tersebut. 

Ada narasi yang mengajak bersatu memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tetapi ada pula yang memunculkan perpecahan. Nasionalisme digital tidak statis, tetapi diperebutkan secara dinamis di antara berbagai aktor sosial.

BACA JUGA:Gaduh Blokir Rekening: Uang Bukanlah Entitas yang Tunduk pada Nasionalisme

BACA JUGA:Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Nasionalisme yang Memberdayakan Sumber Pangan Lokal

Manuel Castells menggambarkan masyarakat digital sebagai network society, di mana hubungan sosial terbangun melalui jaringan. Dalam jaringan itu, setiap individu memiliki kemampuan mass self-communication, yakni produksi pesan yang dapat menjangkau khalayak luas tanpa perantara media arus utama. 

Serangkaian aksi di bulan Agustus 2025 memperlihatkan hal tersebut. Sebuah video diunggah dari ponsel seorang warga bisa menyebar luas, bahkan memengaruhi persepsi publik lebih cepat daripada berita resmi. 

Artinya, nasionalisme kini tidak lagi didefinisikan sepenuhnya oleh institusi negara, tetapi juga oleh jutaan warga digital yang saling terhubung.

BACA JUGA:Refleksi Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2024: Pemuda dan Nasionalisme Organik

BACA JUGA:Peran Media Digital dalam Membangun Rasa Nasionalisme dan Bela Negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: