Nasionalisme di Era Digital Disruptif

ILUSTRASI Nasionalisme di Era Digital Disruptif-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
NASIONALISME YANG KEHILANGAN DAYA LEGITIMASI
Disertasi saya tentang komunikasi politik digital menemukan konsep pseudopower: kekuasaan yang tampak kuat di ruang digital, tetapi gagal membangun legitimasi nyata. Dalam konteks aksi di bulan Agustus 2025, kita melihat hal itu.
Ketika narasi resmi negara menekankan pentingnya stabilitas dan keutuhan NKRI, sebagian besar warga digital justru menafsirkan nasionalisme sebagai keberpihakan kepada keadilan sosial.
Pesan resmi negara yang diulang-ulang kadang tidak mendapatkan penerimaan yang diharapkan karena publik sudah memiliki ”picture in our head” mereka sendiri tentang makna nasionalisme.
BACA JUGA:Nasionalisme Ekonomi untuk Indonesia Maju 2045
BACA JUGA:Nasionalisme Baru
Foucault menekankan bahwa wacana adalah praktik sosial yang membentuk apa yang dianggap benar dan sah. Dengan perspektif itu, nasionalisme di era digital bukanlah fakta tunggal, melainkan hasil kontestasi diskursus.
Kontestasi tersebut kini berlangsung di media sosial: antara pemerintah, akademisi, komunitas sipil, dan netizen.
Legitimasi suatu narasi nasionalisme tidak sekadar ditentukan oleh resonansinya di ruang digital, bukan hanya oleh siapa yang menyuarakannya dan berapa banyak hal tersebut disuarakan.
BACA JUGA:Nasionalisme sebagai Kunci Pertumbuhan
Untuk memahami dinamika itu, metode tradisional sering kali tidak memadai. Diperlukan pendekatan analisis komunikasi big data (metode riset sosial berbasis big data) yang mampu memetakan percakapan daring, sentimen publik, hingga pengaruh tokoh atau akun tertentu.
Dengan dukungan alat riset yang memadai, kita dapat melihat bagaimana diksi nasionalisme menyebar, siapa aktor kunci yang memengaruhi percakapan, dan bagaimana kluster opini terbentuk (mendengar masyarakat digital).
Informasi itu dapat membantu pemerintah membaca aspirasi publik secara lebih tepat dan menghindari kebijakan yang kontraproduktif.
NASIONALISME, PUBLIC SPHERE, DAN LITERASI DIGITAL
Habermas mengingatkan pentingnya public sphere sebagai ruang dialog warga. Media sosial kini menjadi public sphere baru tempat nasionalisme bisa dimaknai secara lebih inklusif asalkan ruang itu dimanfaatkan untuk dialog sehat, bukan untuk memperuncing polarisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: