Sumud, Ledakan Amarah Roger Waters

Sumud, Ledakan Amarah Roger Waters

ILUSTRASI Sumud, Ledakan Amarah Roger Waters.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Waters bukan sekali ini saja menempatkan dirinya di garis depan perlawanan moral. Di berbagai panggung, ia mengibarkan spanduk solidaritas meski tahu risikonya tak kecil.

Dicap antisemit, dicemooh media arus utama, bahkan diancam boikot, tidak membuatnya gentar. Baginya, membela kebenaran jauh lebih penting daripada popularitas yang dipelihara dengan kepatuhan bisu.

Sikap itu mengingatkan pada tradisi panjang musisi dunia yang menjadikan musik sebagai amunisi politik. Bob Dylan, Joan Baez, atau Fela Kuti di Afrika –semuanya pernah menggunakan panggung sebagai mimbar untuk melawan tirani. 

Waters kini mewarisi api itu, bahkan membawanya ke tingkat yang lebih radikal: menuding langsung negara kriminal yang berpura-pura demokratis.

Sumud bukan sekadar lagu, melainkan manifesto. Ia menyuarakan bahwa perlawanan Palestina bukan hanya perang melawan penjajahan militer, melainkan perang menjaga martabat manusia. 

Di setiap batu yang tersisa dari rumah-rumah Gaza, di setiap tenda pengungsian, kata sumud menjadi bisikan yang meneguhkan: jangan menyerah, jangan tunduk, jangan biarkan kebiadaban menuliskan sejarah tanpa perlawanan.

Kita bisa membayangkan seorang bocah di Gaza yang kehilangan keluarganya, berdiri dengan mata kosong menatap reruntuhan, tetap menyimpan kata sumud di dadanya. Itulah yang ditangkap Waters, itulah yang ia ubah menjadi nada, menjadi teriakan global. 

Musiknya memberikan ruang bagi dunia untuk mendengar jeritan yang coba dibungkam tank, drone, dan propaganda.

Waters seakan ingin mengatakan: bila dunia politik gagal, seni harus maju ke garis depan. Ketika lembaga-lembaga internasional lumpuh oleh veto dan kompromi, justru senimanlah yang mengisi kevakuman moral itu. 

Ia bukan diplomat, bukan jenderal, melainkan gitar dan suaranya menjelma senjata moral yang mengguncang panggung dunia.

Maka, Sumud tidak sekadar menyasar telinga para penggemar musik. Ia mengetuk hati publik global, memaksa mereka bertanya kepada diri sendiri: di sisi mana aku berdiri? 

Apakah bersama yang menindas atau bersama yang ditindas? Netralitas, bagi Waters, adalah bentuk kolaborasi dengan penindasan.

Dan, Waters menegaskan: membela Palestina bukan sekadar simpati, melainkan kewarasan. Bila dunia tak lagi berani berkata ”ini genosida,” dunia itu sudah gila, sudah membusuk. Membela Palestina adalah menjaga agar peradaban tidak runtuh ke jurang kebiadaban total.

Musik Waters kini adalah senjata. Ia menembus blokade informasi, ia menelanjangi kemunafikan Barat, ia menyalakan api bagi semua yang masih punya hati. Sebab, di hadapan kebisuan, satu teriakan bisa lebih berharga daripada seribu resolusi PBB.

Pun, teriakan itu kini bergema lewat Sumud: bahwa Gaza tidak sendirian, bahwa dunia tidak seluruhnya buta. Bahwa ada suara yang berani menantang negara kriminal bernama Israel, menantang kebiadaban dengan musik, dengan kata, dengan amarah. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: