Robohnya Pesantren Kami

ILUSTRASI Robohnya Pesantren Kami.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
”ROBOHNYA Surau Kami,” tulis A.A. Navis puluhan tahun silam –sebuah satire tentang runtuhnya makna ruang suci. Kini ironi itu menjelma kenyataan pahit: sebuah pesantren benar-benar roboh. Lebih dari enam puluh santri kecil meninggal terkubur di bawah puing, sebagian baru ditemukan hampir sepekan kemudian. Tempat belajar dan berdoa itu berubah jadi liang sunyi.
Nama pondok pesantren itu adalah PP Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo. Dari sanalah –Senin, 29 September 2025– kabar duka itu datang. Bangunan yang semestinya melindungi anak-anak yang belajar ilmu agama –tauhid, fikih, nahwu, dan tafsir– justru runtuh, menelan nyawa mereka yang baru saja belajar mengeja masa depan.
Navis pernah menulis getir: ”Malaikat mencatat semuanya, tetapi Allah pun berkata, apa gunanya surau itu bila tak membawa manfaat bagi manusia?”
BACA JUGA:Polda Jatim Petakan Tiga Klaster Korban Robohnya Ponpes Al-Khoziny
BACA JUGA:Ponpes Al Khozin y Roboh, Santri Masih Terjebak di Reruntuhan
Sebuah teguran yang dulu lahir dari fiksi kini menjelma peringatan di dunia nyata. Disebabkan pembangunan musala di pesantren itu yang tidak prosedural, ruang yang semestinya menjadi tempat aman malah menjadi kubur massal.
Tragedi itu bukan sekadar robohnya beton, melainkan robohnya rasa aman yang semestinya tumbuh di halaman pesantren.
Orang tua menitipkan anak dengan keyakinan: di sana ada doa, ilmu, dan perlindungan. Namun, kepercayaan itu hancur bersama bongkahan dinding. Pesantren yang semestinya melahirkan harapan justru menanamkan duka.
Pemandangan memilukan tersebut menyerupai elegi: satu per satu jenazah kecil ditarik dari reruntuhan. Sebagian baru ditemukan setelah sepekan dalam kondisi mengenaskan. Banyak yang tak lagi dikenali wajahnya –bahkan sidik jarinya pun hilang.
BACA JUGA:Robohnya Media Massa Kami
BACA JUGA:Media Massa Kita (Belum) Roboh: Menuju Koeksistensi dan Rekonstruksi Sistem Komunikasi
Tubuh mungil yang semestinya pulang dengan tawa kini pulang dalam kantong jenazah, nyaris tanpa nama. Itulah harga dari abai yang dibayar dengan masa depan anak-anak.
Apakah musala pesantren di Buduran itu roboh karena lalai, tak mengikuti prosedur, atau karena keserakahan yang menafikan keselamatan? Pertanyaan tersebut menggantung, menuntut jawaban yang tak boleh dikubur bersama puing.
Navis menulis tentang surau yang kehilangan fungsi sosialnya –tinggal ritual tanpa ruh. Di Buduran, abai yang sama menjelma dalam wujud bangunan yang rapuh, dibangun tanpa tanggung jawab dan pengawasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: