Mobil Mewah Kiai

ILUSTRASI Mobil Mewah Kiai.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Saya selalu senang kalau berkunjung ke beliau karena pasti akan makan enak dan bisa merasakan enaknya kursi mobil Holden itu.
Kini peluang kiai memiliki mobil bagus sangat besar. Apalagi, setelah beberapa dekade terakhir terjadi mobilitas sosial besar-besaran kaum santri.
Kalau dulu, para kiai sudah kaya dari awal –karena itu kemudian dimusuhi PKI– kini juga makin banyak santrinya yang sukses. Dengan dmeikian, kebutuhan untuk itu dengan gampang dipenuhi para santrinya yang telah sukses.
Lha, kenapa santri bersedia memberikan mobil bagus kepada kiainya? Itu adalah bagian dari amal jariah. Itu bagian dari takzim dan cara santri balas budi. Bagi santri, menyediakan fasilitas untuk orang yang pernah mendidiknya adalah kebanggaan.
Dalam cara berpikir agama, ia akan ikut mendapatkan pahala karena kendaraan itu digunakan untuk kegiatan kebaikan.
Lantas, mengapa sekarang masih dianggap tabu? Secara sosiologi, bisa dijelaskan sebagai akibat dari framing yang berdasarkan pada stigma berbasis prasangka.
Stigma bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional masih belum berubah. Ada kesenjangan pemahaman tentang pesantren di kalangan kaum perkotaan.
Pada dasarnya, orang cenderung mengelompokkan diri dalam ingroup (kelompok sendiri) dan outgroup (kelompok lain). Dalam konteks ini, prasangka muncul sebagai bagian cara orang untuk mempertahankan citra positif kelompok sendiri dan merendahkan kelompok lain.
Berbasis prasangka itu, lahirlah bias framing terhadap pesantren dan kiai. Framing terhadap pesantren bisa dipengaruhi oleh dominasi kelompok sekuler-urban yang memandang kelompok religius-tradisional sebagai the other.
Dalam sosiologi, itu disebut outgroup homogenization bias: melihat kelompok lain seolah seragam dan negatif.
Jadi, prasangka atas pesantren dan kiai menjadi basis kognitif framing. Selanjutnya, framing menjadi mekanisme produksi realitas sosial. Dan, produksi realitas itulah yang kemudian melanggengkan stigma terhadap kelompok pesantren, kiai, dan santri.
Dengan kata lain, prasangka negatif terhadap pesantren menyiapkan bingkai kognitif. Framing mengukuhkan prasangka dalam wacana publik. Keduanya membentuk realitas sosial baru yang memperkuat stigma terhadap kelompok tertentu.
Apa yang terjadi di balik kasus tayangan Trans7 tentang pesantren yang bias adalah bukti masih ada kesenjangan antara dunia pesantren dan kelompok di luarnya. Karena itu, mengatasi akar masalah kesenjangan tersebut tampaknya sangat penting. Dan, itu perlu dilakukan pesantren maupun santri secara keseluruhan.
Mengatasi framing negatif terhadap pesantren tidak cukup dengan klarifikasi fakta. Apalagi, unjuk rasa berketerusan. Aksi massa diperlukan sebatas memberikan efek kejut: bahwa stigma itu salah. Tapi, selanjutnya diperlukan pergeseran epistemik dan kultural.
Perubahan cara masyarakat dalam memahami, memproduksi, dan memvalidasi pengetahuan tentang pesantren. Caranya dengan membangun kontak sosial, merebut bingkai makna, melembagakan narasi baru, dan menciptakan hegemoni moral yang berakar pada realitas pesantren itu sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: