Nobel Ekonomi 2025: Resonansi Gagasannya untuk RI

Nobel Ekonomi 2025: Resonansi Gagasannya untuk RI

ILUSTRASI Nobel Ekonomi 2025: Resonansi Gagasannya untuk Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bila ditelisik lebih mendalam, terdapat korelasi signifikan dari hasil pemikiran ketiga ekonom pemenang Nobel itu. 

Pertama, kemajuan teknologi berkembang amat pesat dan memengaruhi peradaban manusia, dengan produk dan metode produksi baru akan menggantikan yang lama dalam siklus yang terus-menerus. 

Hal itu menjadi faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang menghasilkan standar hidup yang berkualitas, dan kesehatan yang layak bagi populasi di seluruh dunia. 

Kedua, akan tetapi, hal itu tidak selalu terjadi karena adanya fenomena ”stagnasi” yang menjadi variabel ”norma” sepanjang sejarah peradaban manusia. 

Meski terdapat penemuan penting dari waktu ke waktu, yang kadang-kadang mengarah pada peningkatan standar hidup yang lebih baik dan pendapatan yang lebih tinggi, pertumbuhan itu sendiri pada akhirnya selalu menemukan titik jenuh. 

Ketiga, Joel Mokyr menggunakan pendekatan sumber-sumber historis sebagai salah satu metodologi untuk menemukan penyebab pertumbuhan berkelanjutan menjadi sesuatu hal yang baru. 

Mokyr menunjukkan bahwa jika faktor inovasi ingin saling menggantikan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat self-generating, tidak hanya perlu mengetahui bagaimana proses ekonomi itu bekerja, tetapi juga perlu memiliki basis argumentasi ilmiah yang mendeskripsikan mengapa proses tersebut bisa bekerja. 

Hal itu sering kali diabaikan sebelum era revolusi industri pada abad ke-18, yang membuat para ekonom sulit untuk membangun gagasan ilmiah di balik penemuan dan inovasi baru. Mokyr juga menekankan pentingnya masyarakat untuk terbuka terhadap ide-ide baru yang memungkinkan terjadinya perubahan yang inovatif. 

Keempat, dengan pendekatan model yang berbeda, Philippe Aghion dan Peter Howitt juga mempelajari mekanisme di balik pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam sebuah artikel dari tahun 1992, kedua ekonom itu telah merancang model matematis untuk apa yang disebut sebagai ”kehancuran kreatif”, yaitu ketika produk baru dan inovatif melenggang memasuki pasar. 

Pada titik itu, perusahaan yang menjual produk lama kalah bersaing. Inovasi mewakili sesuatu yang baru dan karena itu bersifat kreatif. Namun, inovasi tersebut juga bersifat destruktif, kenapa bisa demikian? 

Sebab, perusahaan yang masih mengandalkan teknologi usang niscaya akan terlempar dari persaingan dalam merebut pangsa pasar. Dengan berbagai pendekatan simulasi, para ekonom pemenang Nobel tersebut juga menunjukkan bagaimana proses ”kehancuran kreatif” telah menciptakan konflik berkelanjutan yang harus dikelola secara konstruktif. 

Jika tidak, inovasi akan terhambat oleh perusahaan dan kelompok kepentingan yang sudah established dan berpotensi meminggirkan produk yang tidak inovatif.

World Economic Forum (WEF) dalam rilisnya yang diberi judul Embracing the Quantum Economy Report menyatakan bahwa berkat karya Mokyr dan kawan-kawan di bidang komputasi kuantum, telah menghasilkan terobosan inovatif yang amat signifikan pada sektor ekonomi dan industri. 

Nilai ekonomi dari teknologi komputasi kuantum yang telah dikembangkan diperkirakan mencapai hingga USD900 miliar hingga USD2 triliun pada tahun 2025. Inovasi dari teknologi itu juga memberikan harapan baru di tengah ketegangan geopolitik global yang masih menggelayuti perekonomian dunia akibat perang dagang yang entah kapan berakhir. 

Dengan proyeksi nilai yang begitu besar, teknologi kuantum dipandang sebagai salah satu pilar penting dalam membentuk ekonomi masa depan (future economic shaping) yang lebih canggih, aman, dan efisien.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: