Dirty Vote II o3: Ketika Kekuasaan Menjadi Lingkar yang Sempurna

Dirty Vote II o3: Ketika Kekuasaan Menjadi Lingkar yang Sempurna

ILUSTRASI Dirty Vote II o3: Ketika Kekuasaan Menjadi Lingkar yang Sempurna.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Otot adalah kekuatan koersif negara –aparat, instrumen hukum, dan institusi yang digunakan bukan untuk melindungi warga, tapi mengamankan proyek kekuasaan.

Otak adalah rancangan besar di ruang legalitas –tafsir undang-undang yang dipelintir, lembaga yang dikontrol, dan bahasa hukum yang dijadikan selimut legitimasi atas ketimpangan.

Ongkos adalah bahan bakar utamanya –modal oligarki yang memastikan mesin otoritarianisme bekerja halus di balik jargon demokrasi.

Tiga ”o” itu membentuk lingkar sempurna. Seperti huruf ”o” itu sendiri: kecil, tapi bulat dan tertutup.

Demokrasi kita, kata film ini, tak lagi kotor semata, tetapi bulat. Sebab, seluruh pori perlawanan ditutup dengan legalitas, kekuasaan, dan uang.

Rakyat hanya disisakan ilusi partisipasi dalam sistem yang telah dikunci dari awal.

JOKOWI, PRABOWO, DAN LINGKAR KEKUASAAN

Film ini tidak menyebut nama untuk menjelekkan, tapi setiap potongan narasi menuntun kita pada dua figur sentral: Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Dandhy dan para narasumbernya menunjukkan bahwa kekuasaan era Jokowi bukan sekadar pemerintahan, mlainkan proyek konsolidasi besar: penataan ulang hukum, kontrol atas lembaga, dan penyiapan suksesi dalam format yang menjamin kesinambungan pengaruhnya.

Jokowi tampil sebagai arsitek yang membangun rumah baru bagi kekuasaan lama. Ia menyiapkan fondasi politik dan hukum agar warisan itu berpindah tangan dengan aman.

Prabowo, di sisi lain, muncul sebagai aktor yang menerima warisan itu dengan kesadaran penuh. Ia penerus dalam sistem yang telah dibersihkan jalannya, bukan melalui pemilu yang jujur, melainkan lewat kooptasi lembaga dan rekayasa legitimasi.

Menariknya, film ini tak perlu menyebut nama.

Wajah-wajah kekuasaan hadir dalam montase yang dingin: Jokowi di mimbar, Prabowo di parade, Gibran di podium. Tak satu pun disebut, tapi semua dikenali.

Dan, di situlah kekuatan moral film ini. Ia menguliti sistem tanpa menuding individu.

Gambar bekerja lebih tajam daripada kata. Ia memperlihatkan bagaimana sistemlah yang merusak martabat bangsa, bukan hanya pelakunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: