Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG
ILUSTRASI Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kedua, sekolah akan sangat berhati-hati dalam mengelola MBG karena mereka berhadapan langsung dengan murid dan orang tua. Pengawasan sosial berjalan secara alami.
Anak-anak bisa langsung menyampaikan pengalaman mereka terhadap makanan yang disajikan kepada orang tua. Orang tua pun akan mudah melakukan kontrol.
Dengan demikian, sistem monitoring dan evaluasi menjadi lebih sederhana dan efektif. Tidak perlu laporan panjang yang sulit diverifikasi. Cukup melihat apakah anak-anak benar-benar menikmati makanan dan apakah kesehatan mereka meningkat?
Ketiga, hubungan antara sekolah dan masyarakat akan makin erat. Melalui dukungan komite sekolah, masyarakat akan ikut merasa memiliki program MBG.
Dari sanalah muncul gotong royong baru antara orang tua, guru, dan lingkungan sekitar sekolah.
Bahkan, sangat mungkin, sebagaimana pengalaman penulis selama menjadi kepala sekolah, masyarakat atau komite sekolah (wali murid) sering kali tidak merasa keberatan untuk mengeluarkan dana dan bahan tambahan selama mereka dilibatkan.
Keempat, dapur sekolah atau swakelola akan lebih efisien. Anggaran Rp10.000 per anak per hari bisa dikelola dengan baik oleh sekolah tanpa motif mencari keuntungan. Sekolah tidak berpikir profit, tetapi pelayanan.
Dengan prinsip transparansi, pengawasan masyarakat, dan integritas kepala dan pimpinan sekolah, hasilnya bisa lebih baik daripada jika dikelola pihak ketiga.
Kelima, berbeda dengan pengelolaan pihak ketiga, swakelola tidak harus memberikan keuntungan kepada pihak SPPG.
Tenaga kerja yang terserap oleh program MBG pun tidak menumpuk di pihak SPPG, tetapi lebih menyebar dan merata ke berbagai sekolah yang memiliki dapur sekolah.
Bahan makanan juga tidak terkonsentrasi pada SPPG. Makin banyak sekolah akan makin banyak penyedia bahan yang akan kecipratan rezeki anggaran MBG.
Keenam, beban pengelolaan dapur sekolah pun tidak akan terasa berat dan lebih efektif karena disesuaikan dengan jumlah murid yang ada di sekolah. Tidak seperti satu SPPG yang harus menyiapkan makanan untuk 2.000 murid per hari (awalnya 3.000).
Ketujuh, dari sisi birokrasi, dana MBG dapat ditransfer langsung ke rekening sekolah berdasar data dapodik (data pokok pendidikan) yang kini sudah sangat ketat dan transparan.
Pemerintah pusat tidak perlu repot membentuk tim pelaksana di setiap daerah atau menunjuk vendor besar yang birokrasinya panjang dan rawan penyimpangan.
Memang, kelemahan swakelola adalah potensi bertambahnya kesibukan administrasi dan logistik di sekolah. Mulai menyiapkan dapur, tenaga masak, hingga memastikan kebersihan dan higienitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: