Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (84): Transformasi Desa Pengemis

Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (84): Transformasi Desa Pengemis

TARIAN SAMBUTAN dari warga desa Xianrendong, Provinsi Yunnan. Mereka berasal dari sub etnik Sani, suku Yi.-Doan Widhiandono-

Peserta China International Press Communication Center (CIPCC) tiba di Desa Xianrendong, Provinsi Yunnan, Jumat 7 November 2025. Cantiknya alam yang menyambut ternyata menyimpan cerita elok. Tentang lenyapnya sebuah desa pengemis.

LANGIT cerah menyambut rombongan saat kami memasuki gerbang Xianrendong. Suara alunan musik terdengar lamat-lamat. Makin lama makin keras.

Tepat di depan gapura batu beratap batu, mereka menyambut kami. Belasan lansia yang berbaris. Sambil menari. Yang lelaki memainkan alat musik. Atau berakting memainkan musik. Sebab, lagu yang kami dengar berasal dari perangkat suara elektronik.

Musik ritmis itu rancak. Pas dengan gerak dinamis para perempuan sepuh itu. Mereka berbaju biru dengan celana hitam. Baju mereka tampak makin cantik berkat bordiran yang memenuhinya.

BACA JUGA:Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (83): Wajah Babi sampai Big Data Mangga

BACA JUGA:Siswa ITCC Raih Beasiswa ke Tiongkok (6): Siap Taklukkan Dunia Siber

Ya, itulah penampilan khas Suku Yi. Tepatnya dari sub-etnik Sani. Dan tarian penyambutan itu terasa bukan sekadar seremoni. Tapi seolah menjadi halaman pertama sebuah kisah anyar.

Desa Xianrendong dinaungi oleh Desa Puzhehei, Kecamatan Shuanglongying. Kabupatennya adalah Qiubei. Di atasnya adalah Prefektur Wenshan, semacam karesidenan di Indonesia. Semuanya ada di Provinsi Yunnan di sisi selatan Tiongkok.

Xianrendong tampak seperti setting film Tiongkok kuno. Rumah-rumah kayu berdiri memanjang di tepian telaga. Menyatu dengan air yang jernih seperti kaca. Refleksi bukit karst tampak seperti lukisan tua yang tak pudar warnanya.

Rumah-rumah itu berbahan kayu. Disangga tiang berukir dan susunan papan yang saling bertaut. Semuanya terasa antik tetapi terawat. Kini, rumah-rumah itu menjelma sebagai homestay dua lantai, warung, serta toko suvenir yang menjual aneka produk khas Sani.


AMEI, perempuan pemandu wisata dari suku Yi-Sani, bersama Harian DIsway (kanan).-Dokumen Pribadi-

Cantik? Iya. Tetapi, kisahnya lebih cantik. Sebab, desa yang begitu rapi itu dulu dikenal dengan nama pedih: Desa Pengemis!

Itu bukan metafora. Warga dulu benar-benar membawa karung ke kampung lain untuk meminjam beras pada musim paceklik. Kemiskinan membuat banyak keluarga hidup dalam kekurangan makanan dan pakaian.

Rumah-rumah waktu itu kecil, gelap, dan tak terawat. Xianrendong sejatinya punya tanah subur seluas lebih dari 106 hektare. Tetapi hasilnya tak cukup. Walau hanya berjarak 13 kilometer dari pusat kabupaten, desa ini tertinggal dari semua sisi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: