Sudah Mati pun Masih Hidup di Data Negara, Masalahnya di Mana, Apa Dampaknya?

Sudah Mati pun Masih Hidup di Data Negara, Masalahnya di Mana, Apa Dampaknya?

ILUSTRASI Sudah Mati pun Masih Hidup di Data Negara, Masalahnya di Mana, Apa Dampaknya?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Keterkaitan antara data dan arah kebijakan itu sebenarnya sudah diatur dengan jelas. Pasal 58 UU Adminduk menegaskan bahwa data kependudukan digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan pemerintah, perencanaan pembangunan, dan alokasi anggaran. 

Jadi, ketika data tentang kematian tidak dilaporkan, yang terganggu bukan hanya administrasi, melainkan juga arah kebijakan negara itu sendiri.

Sayang, kepastian hukum tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan dalam praktik di lapangan. UU Adminduk sudah memuat sanksi untuk memastikan ketertiban administrasi itu. 

Pasal 90 ayat (1) menyebutkan bahwa ”penduduk yang terlambat melaporkan peristiwa penting dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp1.000.000”. Dan, peristiwa penting yang dimaksud, dalam Pasal 1 angka 17, termasuk kematian.

Namun, dalam praktiknya, sanksi itu hampir tidak pernah diterapkan. Pemda umumnya memilih jalan lunak: menganggap pelaporan kematian sepenuhnya hak keluarga, bukan kewajiban sosial. 

Padahal, jika kita bicara efisiensi anggaran dan akuntabilitas publik, pelaporan kematian bukan sekadar urusan moral, melainkan juga soal tanggung jawab administratif.

MENGUBAH CARA PANDANG PEMERINTAH DAERAH

Pemda memegang peran penting dalam memastikan UU Adminduk dijalankan. Sayang, secara umum urusan pencatatan kematian belum dianggap sebagai indikator kinerja atau prioritas pelayanan publik. 

Bahkan, di banyak daerah, jumlah akta kematian yang diterbitkan jauh lebih sedikit daripada angka kematian yang sebenarnya terjadi.

Padahal, dengan sedikit inovasi kebijakan, situasi itu bisa berubah. Misalnya, setiap rumah sakit atau puskesmas bisa diwajibkan mengirim data kematian langsung ke dukcapil. RT/RW dan kelurahan bisa dilibatkan sebagai pelapor aktif. 

Pemda juga dapat membuat mekanisme insentif administratif bagi keluarga yang melapor tepat waktu. Misalnya, kemudahan pengurusan dokumen waris atau layanan publik lainnya.

Langkah-langkah sederhana itu bisa membuat sistem administrasi kependudukan jauh lebih hidup dan kebijakan publik jauh lebih akurat.

Tentu, tidak semua pemda bersikap pasif. Beberapa daerah telah melakukan inovasi kebijakan dengan menggunakan APBD untuk memberikan insentif kepada keluarga yang mengurus akta kematian.

Modelnya beragam. Ada yang memberikan bantuan tunai kecil sebagai bentuk penghargaan, ada yang menggratiskan seluruh biaya administrasi pemakaman dan dokumen lanjutan, bahkan ada yang mengintegrasikan layanan ”satu pintu” di rumah sakit dan kelurahan agar akta kematian otomatis terbit tanpa keluarga harus bolak-balik.

Hal itu sederhana, tapi berdampak. Selain mendorong tertib administrasi, kebijakan semacam itu membangun kesadaran bahwa pelaporan kematian bukan sekadar urusan keluarga, melainkan juga bagian dari tanggung jawab warga negara untuk memastikan data publik tetap bersih dan akurat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: