Dedolarisasi, Dehegemoni, dan Reorientasi Ekonomi Global
ILUSTRASI Dedolarisasi, Dehegemoni, dan Reorientasi Ekonomi Global.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kedua, fakta bahwa Rusia merupakan produsen utama berbagai komoditas penting yang sebetulnya juga dibutuhkan negara-negara Barat. Mulai minyak, gas, hingga pupuk. Oleh karena itu, AS harus berpikir seribu kali jika hendak menerapkan sanksi dagang ketika Deklarasi Kazan melahirkan inisiatif penggunaan LCS dan mengurangi dolar AS.
Ketiga, dengan potensi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global anggota mencapai angka 37 persen menguasai PDB dunia, BRICS jauh melampaui PDB negara-negara yang bergabung dalam kaukus ekonomi G7, yang beranggota Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang.
Bahkan, Putin membandingkan perubahan dalam pangsa PDB global antara G-7 dan BRICS. Ia mengatakan, PDB G-7 terus menyusut dari 1992 sebesar 45,5 persen menjadi 16,7 persen pada 2024.
Dengan PDB agregat aliansi BRICS lebih dari 60 triliun dolar AS atau setara Rp900.000 triliun (asumsi USD1= Rp 15.000) dan total pangsa pasar global melebihi indikator pertumbuhan aliansi negara G-7.
Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 40 persen pertumbuhan PDB global dan seluruh dinamika ekonomi global telah diperhitungkan oleh negara-negara BRICS.
Keuntungan strategis-ekonomis bisa diraih Indonesia yang menggabungkan diri sebagai anggota BRICS dengan memanfaatkan kebijakan LCS adalah mnegurangi tekanan dan ketergantungan terhadap mata uang dolar AS yang pada gilirannya akan mereduksi tekanan pada neraca pembayaran.
Meski telah berjalan dalam lingkup skala kecil antaranggota, kebijakan dedolarisasi yang hendak diimplementasikan aliansi BRICS telah menempatkan Washington dalam situasi sulit sehingga tidak bisa seenaknya bebas melakukan kebijakan proteksionisme berlebihan yang dapat mengganggu ritme perdagangan dunia. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: