Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis

Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis

ILUSTRASI Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Greenflation, dari Basa-basi Politis ke Kesadaran Ekologis

BACA JUGA:Perspektif Baru TNI dalam Menghadapi Ancaman Perang Ekologis

Kinerja media massa terasa tidak memadai dalam memberikan peringatan dini soal mudahnya perusahaan dapat HPH atau minimnya pengawasan. Saat bencana datang, kita baru tersentak. Dampak bencana berupa relokasi dan rehabilitasi jadi harga yang harus dibayar atas kelalaian struktural.

Fenomena itu adalah manifestasi konkret dari kritik Ahmad Arif (2010) dalam buku bertajuk Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme. Ia mengkritik praktik liputan yang gagal melihat bencana sebagai masalah sistemik yang berkaitan dengan kebijakan, perizinan, dan tanggung jawab korporasi. 

Jurnalisme sejatinya mampu memberikan peringatan dini atas ancaman tersembunyi berupa kerusakan hutan dan lemahnya sanksi yang menimbulkan efek jera. Apalagi, selama ini kejahatan lingkungan masih dianggap sebagai delik ringan, padahal dampak jangka panjangnya harus ditanggung oleh anak cucu kita. 

Itulah alasan mengapa liputan kita terhenti pada aspek dampak tanpa tuntas mengawal upaya pencegahan.

Kelemahan itu diperparah oleh praktik jurnalisme lingkungan yang dilakukan media mainstream yang masih tergolong ”bias kota”. Liputan isu lingkungan cenderung elitis, mengandalkan pernyataan dari pejabat atau ahli yang elitis di pusat. 

Jurnalis jarang melakukan investigasi mendalam ke lapangan. Tuntutan kecepatan dan kuota berita harian menghalangi jurnalis untuk menelisik kejahatan lingkungan yang kompleks dan tersembunyi.

KOLABORASI TRIPARTIT

Jika media mainstream tidak mampu menjalankan mandat mengawasi kekuasaan dan korporasi, sudah saatnya jurnalis warga (citizen journalists) mengambil alih tanggung jawab itu. 

Jurnalisme warga lahir dari kritik terhadap krisis ruang publik di media arus utama dan dapat menyuarakan yang tidak tersuarakan (voice the voiceless) dari lokasi-lokasi terpencil, yang sering luput dari perhatian. 

Dalam kasus bencana Sumatera, contohnya, bukti-bukti kayu gelondongan yang menjadi viral dan memicu investigasi pemerintah pun sebagian besar berasal dari rekaman warga.

Tentu saja, kita tidak boleh naif. Kekhawatiran atas lemahnya kemampuan teknis reportase, akurasi, dan pemahaman etika pers dalam jurnalisme warga adalah tantangan yang nyata. 

Solusinya tidaklah menolak jurnalisme warga, tetapi menguatkannya melalui kolaborasi tripartit yang terstruktur antara akademisi bidang jurnalistik, organisasi pers, dan jurnalis warga.

Institusi pendidikan, terutama departemen ilmu komunikasi dan program studi jurnalistik, harus menggeser kurikulumnya. Jangan hanya berfokus pada media mainstream, beralihlah ke pemberdayaan komunitas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: