Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy
ILUSTRASI Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Berdasar riset Quarterly Informal Economy Survey (QIES) oleh World Economics 1990–2021, aktivitas ilegal SE terjadi di hampir semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Persentase potensi penerimaan negara dari UE terhadap PDB bervariasi.
Namun, secara umum dinyatakan bahwa SE di negara maju berkisar 15–20 persen dari PDB. Sementara itu, di negara berkembang, nilainya mencapai 30–40 persen dari PDB.
Di negara-negara Asia sendiri urutan pertama ditempati negara Afghanistan sebesar 72,9%, disusul India 52,4%, Myanmar 52%, Thailand 42,6%, Kamboja 40,9%, Filipina 34,1%, Malaysia 25,3 %, Indonesia 22,7%, Vietnam 20,5%, Tiongkok 12,7%, Singapura 10,4%, dan Jepang 9,6%.
Catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan bahwa nilai UE di Indonesia mencapai hingga 30–40 persen dari PDB Indonesia. Taksiran itu melebihi data QIES dan Biro Pusat Statistik pada 2021 yang mencapai kisaran angka konservatif, yakni 10–15% dari PDB.
Di Indonesia, fenomena SE sangat identik dengan sektor informal yang mendominasi sektor ketenagakerjaan. Berdasar data Biro Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, dengan hampir 59,4% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, dampak SE terhadap penerimaan pajak tidak bisa diabaikan begitu saja.
Aktivitas ekonomi di ”ruang gelap” itu memiliki karakteristik. Di antaranya, didominasi usaha mikro dan kecil yang tidak terdaftar meski ada juga dalam skala besar yang dikemas dengan usaha bisnis kecil, transaksi tunai dalam tiap operasionalnya, selalu menghindari aspek kepatuhan hukum dan regulasi perpajakan, serta minimnya perlindungan hukum dan sosial bagi para stakeholder yang terlibat di dalamnya.
Meski sering dianggap sebagai ”tumor fiskal” karena menggerogoti pemasukan kas negara, sektor itu bisa menyerap tenaga kerja dalam skala tidak kecil dan menghasilkan pendapatan bagi kelompok rentan. Dengan begitu, dampak jangka panjangnya secara perlahan akan mendistorsi pertumbuhan ekonomi nasional.
Terdapat sejumlah kekhawatiran mengapa aktivitas SE dianggap sangat mengancam, bahkan mereduksi, pertumbuhan ekonomi?
Pertama, potensi penerimaan yang seharusnya masuk kas negara yang bernilai triliunan akan hilang karena luput dikenai pajak. Hilangnya penerimaan negara itu akan mematikan ”tungku ekonomi” yang menggerakkan roda pembangunan.
Kedua, adanya aktivitas SE yang informal bernilai besar dan luput dari sistem perpajakan akan memicu ketidakseimbangan praktik persaingan bisnis. Itu memicu kompetisi bisnis yang tidak sehat.
Para pelaku bisnis legal dan patuh pada regulasi merasa ”dipaksa” bersaing dengan para pelaku ekonomi SE yang beroperasi dengan biaya rendah karena tidak terbebani pajak, perizinan, dan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku.
Ketiga, pembiaran aktivitas SE akan memantik persepsi dan sikap apriori masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian dapat mengurangi motivasi pelaku bisnis untuk taat dan patuh pada regulasi serta kewajiban perpajakan.
Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah belum mampu mengelola ekonomi dengan baik ataupun minimnya pemberlakuan efek jera terhadap pelaku tindak kejahatan korupsi yang merajalela, niscaya mereka cenderung akan mengabaikan aturan-aturan dan mencari cara untuk menghindari praktik-praktik bisnis secara fair.
KINERJA FISKAL MENURUT KEYNES
Menurut konsep yang selama ini dipahami, strategi menggenjot penerimaan negara adalah intensifikasi pajak dengan cara menaikkan tarif pajak (tax rate) untuk semua objek yang bisa dikenai pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: