Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy

Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy

ILUSTRASI Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Inersia Anggaran Fiskal di Tengah Disparitas Dana Pusat-Daerah

PPh final, PPh 22, dan PPh 26 bersama jenis pajak lain mencapai Rp275,57 triliun, sedikit melemah 0,1% yoy. PPN dan PPnBM merosot, perolehan Rp556,61 triliun, turun 10,3% daripada periode sama pada 2024. 

Sebaliknya, kategori pajak lainnya, termasuk deposit dan penyesuaian administratif, tercatat tumbuh, mencapai Rp197,61 triliun. 

Kendati secara bruto penerimaan bersih mengalami kontraksi daripada tahun lalu, aspek yang paling membebani adalah lonjakan restitusi pajak dan penurunan realisasi dari sebagian besar jenis pajak, termasuk PPh dan PPN/PPnBM.

Terlepas dari data-data di atas, dalam kurun lima tahun terakhir angka-angka realisasi rasio pajak Indonesia tersebut dinilai masih di bawah angka ideal yang ditetapkan IMF, yakni 15% dari PDB. 

Sementara itu, negara ASEAN mampu mencapai rasio pajak di 13–16 persen. Contohnya, Thailand di level 17,18%, Vietnam di 16,21%, disusul Singapura 12,96%. Di sisi lain, rasio pajak di negara maju dalam kelompok OECD pada kurun 2022–2025 malah rata-rata melampaui angka 20%. 

Rendahnya angka rasio pajak sebuah negara dapat memunculkan konsekuensi serius. Di antaranya, terbatasnya ruang fiskal, menciptakan ketergantungan pada utang untuk membiayai program-program pembangunan, dan rapuhnya kemampuan resiliensi ekonomi dalam menghadapi guncangan internal maupun eksternal. 

Oleh karena itu, rendahnya tax ratio sebuah negara dapat dimaknai sebagai indikator adanya kelemahan atau keterbatasan pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi dasar fiskal (Musgrave, 1959). 

Dalam penjelasan lain bisa dimaknai bahwa kecilnya angka rasio pajak tidak selalu berarti basis pajak yang kecil melainkan terdapat perbedaan (gap) antara kapasitas optimal pemungutan pajak dan realisasi penerimaan pajak yang sesungguhnya. 

Perbedaan besar itu mengindikasikan lemahnya implementasi instrumen kebijakan tata kelola administrasi pajak maupun kepatuhan wajib pajak.

SHADOW ECONOMY: ”TUMOR” FISKAL

Kinerja perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu negara lazimnya diukur berdasar nilai PDB. Metode pengukuran itu banyak dianut negara di seluruh dunia sampai detik ini. 

Namun, metode tersebut, menurut sejumlah ekonom, dianggap sebagai metode yang masih memiliki banyak kekurangan. Sebab, perhitungan PDB yang digunakan belum memasukkan seluruh unsur kegiatan yang sesungguhnya berlangsung dalam suatu perekonomian. 

Konsekuensinya adalah hasil perhitungan PDB tersebut tidak mencerminkan kondisi perekonomian yang sesungguhnya dan menjadi bias atau lebih rendah dari ukuran ekonomi yang sebenarnya. 

Terdapat banyak kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk perhitungan PDB. Aktivitas ekonomi itu biasa disebut shadow economy (SE) atau dengan pemaknaan ekstrem disebut underground economy (UE) yang sejak lebih dari satu dekade terakhir telah menjadi isu global (Schmit, 2003).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: