Belajar Public Speaking dari Gita Wirjawan, dr Fahrudin, dan Raditya Dika
Ilustrasi public speaking.-Harian Disway-Harian Disway
Bagi generasi muda hari ini, public speaking bukan soal pidato di podium nasional. Ia terjadi setiap kali kamu presentasi di kelas, pitch ide ke dosen pembimbing, live di Instagram, atau bahkan menjawab pertanyaan wawancara kerja lewat Zoom. Dan di semua situasi itu, yang menentukan bukan seberapa fasih kamu bicara, tapi seberapa jelas pesanmu sampai.
Lihat Gita Wirjawan. Di podcast Endgame, ia sering bicara pelan, pakai data, dan tak ragu diam sejenak. Tapi pendengarnya banyak. Bahkan kalimatnya dikutip berhari-hari setelah episode tayang.
Mengapa? Karena ia tak berbicara untuk terdengar pintar. Ia bicara agar audiens memahami, lalu bertindak. Itu pola yang bisa ditiru: persiapkan inti, buang hiasan, fokus pada dampak.
Banyak anak muda justru sebaliknya. Mereka latihan “ekspresi percaya diri”, tapi lupa mempertanyakan: apa yang ingin orang ingat setelah aku selesai bicara?
Akibatnya, presentasi di kelas atau di konten medsos jadi penuh jargon kosong: “disrupsi”, “value”, “mindset”, tapi tak ada inti yang tertinggal. Viral mungkin, tapi tak berbekas.
Dr. Fahrudin Faiz memberi contoh berbeda. Saat membahas isu teologis di forum terbuka, ia tak memaksa audiens masuk ke dunianya.
BACA JUGA:Tahun 2026, Menuju Kemandirian Fiskal di Bawah Bayangan Shadow Economy
BACA JUGA:Rumah Sakit Hewan (RSH): Ruang Asih dan Asuh bagi Hewan
Ia turun ke bahasa mereka. Misalnya, saat menjelaskan konsep “iman sebagai pergulatan”, ia pakai analogi: “Kayak kamu unggah konten yang benar-benar dari hati, tapi yang viral justru video random kamu jatuh di kantin.”
Hadirin langsung tertawa, lalu mengangguk. Itu jadi strateginya membangun jembatan pemahaman. Bagi generasi muda yang sering dianggap “tidak paham hal berat”, cara ini justru membuktikan: hal kompleks bisa disampaikan dengan cara sederhana, tanpa mengkhianati substansi.
Di dunia kerja, ini jadi penentu. Seorang lulusan baru mungkin punya ide brilian untuk optimasi logistik, tapi jika ia menyampaikannya dengan suara gemetar, struktur acak, dan tanpa jawaban atas “kenapa ini penting bagi perusahaan?”, ide itu mati sebelum lahir.
Sebaliknya, Raditya Dika, yang awalnya dikenal lewat blog dan buku humor, bisa masuk ke ruang kebijakan karena ia paham audiens menentukan cara bicara.
Saat bicara ke anak muda, ia pakai cerita pribadi. Saat bicara ke pengusaha, ia soroti data ekonomi mikro. Gaya boleh santai, tapi struktur selalu tajam: masalah - pengalaman - pelajaran - ajakan.
Kemampuan mereka bukan bakat, tetapi latihan.
Gita selalu menulis tiga poin inti sebelum rekaman, lalu menghapus semua yang tak mendukung poin itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: