Dinamika Ruang Seni Balai Pemuda

Dinamika Ruang Seni Balai Pemuda

Seniman Ammar Bacan yang merasakan perubahan lintas generasi di Balai Pemuda.-Aditya Rasyid Wicaksono-Aditya Rasyid Wicaksono

Balai Pemuda Surabaya sudah berubah wajah: dari ruang ekspresi seni yang inklusif menjadi arena komersial yang eksklusif. Perubahan itu menggeser peran pemuda dari penggerak budaya menjadi penonton di rumah yang dulu mereka hidupkan bersama.

Di kantin pojok, Kamis siang itu, 27 November 2025, Balai Pemuda terasa sepi dari riuh para seniman yang dulu menjadikannya "rumah". Seorang seniman duduk termenung, menyusun kembali kenangan masa lalunya di tempat yang kini hanya menyisakan bayangan.

Aroma kopi menyatu dengan derasnya kata-kata yang ia lontarkan. Di bawah langit mendung yang kelabu, rindu terhadap Balai lama pun mengalir deras.

Ammar Bacan, akrab disapa “Cak Bacan”, tenggelam dalam nostalgia. Pria kelahiran 1 Januari itu bercerita tentang masa-masa ketika Balai Pemuda masih “wangi”. Aktif, hidup, dan menjadi denyut nadi ekspresi seni Surabaya.

Di sanalah lahir KPJS (Komunitas Pengamen Jalanan Surabaya), yang menyelenggarakan beragam kegiatan: pameran seni, pertunjukan musik, hingga teater jalanan. Semua lahir dari persaudaraan dan obsesi murni terhadap seni.

Setelah pemugaran besar-besaran lima tahun silam, segalanya berubah. Fasilitas publik mulai dipatok harga sewa yang tinggi. "Rasanya seperti pemuda tanpa balai," ujar Ammar.

BACA JUGA:Teater Gapus Ramaikan Malam Sastra Festival Seni Balai Pemuda dengan Puisi F Aziz Manna dan Indra Tjahjadi

BACA JUGA:Malam Sastra Festival Balai Pemuda Hadirkan Teater Kampus

Ruang yang dulu terbuka kini mengeras menjadi komoditas. Perubahan ini turut menggerus ruang gerak kolektif seni Arek-Arek Suroboyo.

Logika birokrasi kini menggantikan semangat kolektif. Mengurus izin acara bukan lagi soal koordinasi, melainkan urusan transaksional dan rumit.

Ruang publik yang dulu cair, spontan, dan inklusif, perlahan berubah menjadi arena komersial yang kaku dan eksklusif. Seniman independen yang tak membawa bendera sponsor atau dana korporat, terpaksa angkat kaki. Mereka terusir dari “rumah” mereka sendiri.

Kemegahan arsitektur Balai Pemuda, dengan lantai marmer dan tembok megah, justru menjadi dinding tebal yang memisahkan “seni elit” dari “seni rakyat”.

Dulu, tempat ini bergemuruh oleh teriakan puisi dan denting gitar sumbang para pemula; kini, ia lebih sering diam, dingin, dan berjarak.

BACA JUGA:Lagu Duo Etnicholic yang Belum Dirilis Ini sudah Dinikmati Duluan oleh Penonton Festival Seni Balai Pemuda Surabaya

BACA JUGA:Pameran Motherland, Tafsir Seni Bambang Asrini atas Ibu Pertiwi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: