BEBAN masyarakat tahun ini benar-benar berat. Setelah harga BBM naik, diikuti gas, listrik, dan air, kini pajak bumi dan bangunan (PBB) juga siap-siap naik. Pemerintah Kota Surabaya dan Sidoarjo sudah berancang-ancang ”menyesuaikan” PBB. Tidak dengan menaikkan tarif, tetapi menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) bumi dan bangunan.
Indikasi itu terlihat dari pembahasan-pembahasan raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Itu sebagai konsekuensi atas munculnya UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Di dalam UU tersebut tercantum perubahan jenis dan pengelompokan pajak daerah dan tarif pajak daerah. Di antaranya, tarif PBB yang semula maksimal 0,3% menjadi 0,5%.
Kenaikan PBB itu adalah salah satu upaya menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) yang ditargetkan naik seiring kenaikan APBD. Tahun ini APBD Surabaya Rp 11,2 triliun. Naik cukup tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Rp 10,3 triliun (2022), Rp 8,9 triliun (2021), dan Rp 8,6 triliun (2020). Begitu juga Sidoarjo yang APBD-nya mencapai Rp 5,4 triliun (2022). Tahun 2023, PAD Sidoarjo ditargetkan Rp 1,935 triliun.
Sumber PAD paling penting bagi pemerintah kabupaten/kota adalah PBB dan bea perolehan hak atas bumi dan bangunan (BPHTB). Dua jenis pajak daerah itu saling berhubungan. Sebab, keduanya didasarkan pada hal yang sama, yaitu NJOP.
PBB, misalnya, menggunakan tarif maksimal 0,5 persen dari NJOP kena pajak (KP) yang menurut UU 1 2022 adalah 20% hingga 100%. Jika NJOPKP 100%, maka dengan tarif 0,1%, PBB-nya adalah 0,1% dari NJOP. Jika NJOP Rp 1 miliar, berarti PBB-nya Rp 1 juta.
BPHTB juga didasarkan atas NJOP. Perhitungannya, menurut UU 1 2022, 5% dikalikan NJOPKP. Yaitu, NJOP dikurangi NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP) sebesar Rp 80 juta. Jika NJOP Rp 1 miliar, NJOP kena pajaknya adalah Rp 920 juta. BPHTB-nya 5% dari nilai itu atau sebesar Rp 46 juta.
Selain PBB dan BPHTB, pajak penerangan jalan (PPJ) menjadi pendulang pajak daerah. Di Sidoarjo, misalnya, BPHTB memiliki kontribusi paling besar, yaitu mencapai 34,13 persen. Pajak penerangan jalan –yang dalam hal ini dikutip oleh PT PLN sebagai penyuplai listrik– memberikan kontribusi hingga 30,5 persen. Sementara itu, PBB berkontribusi 24,77 persen. PBB sebenarnya bisa memberikan kontribusi lebih, tetapi selama ini pencapaian perolehannya hanya sekitar 60 persen dari potensi.
Tiga jenis pajak daerah tersebut memberikan kontribusi hingga 89,44 persen terhadap total penerimaan pajak daerah. Artinya, pencapaian target pajak daerah sangat ditentukan tiga jenis pajak daerah itu. Jika pendapatan dari salah satu atau keseluruhan tiga jenis pajak tersebut meleset dari target, secara keseluruhan berpotensi tidak bisa mencapai target. Untuk itu, sangat penting membuat prediksi masing-masing jenis pajak itu dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhinya.
Di Sidoarjo, pajak daerah tahun ini mencatat perolehan tertinggi sepanjang sejarah, yaitu Rp 1,2 triliun. Penyumbang terbesar adalah BPHTB, yaitu Rp 425 miliar, disusul PPJ Rp 332 miliar dan PBB Rp 286 miliar. Penyesuaian NJOP selain untuk mendekatkan ke harga pasar, juga untuk menaikkan perolehan BPHTB karena sering kali dihitung berdasar pada NJOP-nya.
Banyak pemerintah daerah yang berusaha melakukan penyesuaian NJOP agar lebih dekat pada harga pasar. Di Surabaya, misalnya, harga pasar tanah bisa mencapai 70% di atas NJOP. Karena itu, Pemkot Surabaya akan meninjau NJOP untuk disesuaikan dengan harga pasar yang terus naik, meski mungkin akan ditunda dulu.
Di Surabaya, harga pasar tanah di beberapa kawasan sudah sangat tinggi. Di Jalan HR Muhamad, misalnya, harga pasar sudah di atas Rp 70 juta per meter persegi. Sementara itu, NJOP tertinggi ada di kisaran Rp 32 juta. Mengacu pada UU 1 2022, NJOPKP bisa 100% dengan tarif 0,5%. Berarti, PBB per meter persegi bisa mencapai Rp 160 ribu per tahun. Jika NJOP dinaikkan, otomatis PBB yang harus dibayar juga akan naik.
Hati-Hati Menaikkan
Upaya menaikkan NJOP tanah untuk meningkatkan pendapatan PBB dan BPHTB harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebab, PBB itu di sisi yang lain juga sangat membebani masyarakat. Perkembangan kawasan dan naiknya harga tanah bisa membuat penduduk pemilik tanah terusir dari tanah dan lingkungannya.
Dengan simulasi tarif seperti di atas, penduduk di kawasan HR Muhamad, Surabaya, misalnya, lama-lama tak akan mampu membayar pajak. Dengan kepemilikan tanah 200 m2, misalnya, PBB yang harus mereka bayar bisa mencapai Rp 32 juta. Atau Rp 16 juta jika tarifnya dibuat 0,25% dan NJOPKP-nya tetap 100 persen.