Rasanya, tak ada kawasan pantai utara yang tidak tersentuh budaya peranakan. Budaya-budaya tersebut berasimilasi. Membentuk budaya baru. Termasuk di Sumenep, Madura. Di sana, terdapat warung masakan peranakan yang unik sekali.
Series Jejak Naga Utara Jawa (62) : Masakan Peranakan di Ujung Pulau Madura
Minggu 09-04-2023,14:20 WIB
Editor : Retna Christa
Dengan telaten, Trisnawati (kanan) melayani wawancara tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa di Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, 1 Februari 2023.-Boy Slamet-Harian Disway- ’’Lontong cap go meh di sini beda sama yang di Jawa. Di sini enggak ada sayur lodehnya,’’ kata Trisnawati. Ya, isiannya hanya lontong, potongan ayam, daging, serta telur rebus. ’’Orang Madura enggak suka sayur. Kalau yang ijo-ijo mau. Kayak daun kelor gitu, mereka suka. Tapi kalau sayur yang diolah seperti ini, tidak suka. Apalagi rebung,’’ jelas dia. Ciri khas peranakan juga tampak pada rawon. Rawon buatan Trisnadewi tidak memakai keluak. Alhasil, warnanya tidak hitam. Melainkan cokelat bening. Ceritanya, dulu warga Tionghoa melihat rawon khas Jawa Timur yang kuahnya tampak ’’kotor’’. Mereka tidak suka. Maka, kuah itu ’’dibersihkan’’ dengan cara tidak menyertakan keluak. Untuk mengimbangi bumbu-bumbunya, sekaligus memberi sensasi pedas, Trisnawati menggunakan cabai merah mesar. Sementara itu, dalam resep mertua Trisnawati, gulai kambingnya tidak menggunakan santan. Rasa dan aroma kambing yang kuat dipadukan dengan tulang rusuk sapi. Sehingga, tanpa santan pun, sudah gurih banget. ’’Biar rasanya pas, waktu masak airnya jangan banyak-banyak. Disesuaikan dengan takaran bumbu-bumbunya,’’ papar perempuan 72 tahun tersebut. Jika terbiasa menyantap menu-menu serupa di Jawa—utamanya Jawa Timur—mungkin ada cita rasa yang kurang. Rawon dan gulainya terasa ringan. Tapi tasty. Tak ada rasa eneg atau berat ketika harus menghabiskannya hingga suapan terakhir. Lontong cap go meh tanpa sayur juga terasa lezat. Karena absennya lodeh dikompensasi dengan daging dan ayam yang gurih dan sangat empuk.
Rawon khas Rumah Makan 17 Agustus yang tidak hitam pekat.-Boy Slamet-Harian Disway-
Lontong cap go meh khas Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep.-Boy Slamet-Harian Disway-
Sop buntut Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, yang dagingnya begitu empuk.-Boy Slamet-Harian Disway-
Gulai kambing khas Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, ini terasa tidak berat dan berlemak di mulut.-Boy Slamet-Harian Disway- ’’Dulu ngerebus dagingnya lama. Berjam-jam. Sekarang cepet. Wong pake panci kayak presto itu,’’ ungkap Trisnadewi. Yang dia maksud adalah pressure cooker. Selain resep, Trisnadewi juga tidak mengubah interior restonya. Tetap jadul seperti ketika awal berdiri. Pegawai-pegawai dia juga orang lama. Sudah ikut dia mulai 20 sampai 30 tahun yang silam. Awet. Bersama Edhi, Trisnadewi yang punya nama Tionghoa Phwa Kiem Hwie itu, dikaruniai dua putri dan enam cucu. Semua sudah merantau, jauh dari Sumenep. Apakah tidak ada yang berminat melanjutkan usaha kuliner peranakan? ’’Ada yang suka masak. Tapi ya enggak mau pulang. Enak di rantau,’’ kata Trisnadewi. Tak takut resep peninggalan mertua hilang ditelan zaman? ’’Enggak. Makanan ada zamannya sendiri,’’ tutur dia, lantas tersenyum. (*) *) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Annisa Salsabila, Boy Slamet. SERI BERIKUTNYA : Resep Bertahan Empat Generasi
Kategori :