Series Jejak Naga Utara Jawa (63) : Resep Bertahan Empat Generasi

Series Jejak Naga Utara Jawa (63) : Resep Bertahan Empat Generasi

SUSAH PAYAH, Retna Christa (kiri) memipihkan adonan yopia sebelum dipanggang. Waras di sebelahnya terlihat lebih santai.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Yopia memang khas Lasem. Di-googling seperti apa pun, seluruh hasilnya menyebut bahwa makanan itu berasal dari kecamatan di Kabupaten Rembang tersebut. Dan hampir semuanya merujuk pada Yopia Cap Kupu-Kupu yang terletak di Desa Karangturi. Itulah hidden gem yang sempat kami datangi dalam ekspedisi ini.
 
BASKORO Pop, salah seorang pendiri Yayasan Lasem Heritage, menyuruh kami bergegas, Rabu pagi, 18 Januari 2023. Pukul 07.30, lelaki 46 tahun itu sudah siap di teras depan Rumah Merah Heritage, Jl Karangturi IV, yang kami singgahi sejak semalam.
 
’’Mas, I dah sampai Rumah Merah,’’ tulis Pop, sapaannya, dalam pesan singkat kepada Doan Widhiandono, anggota tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa. Pop agak kaget saat kami baru bangun. Belum sarapan. Dan satu anggota tim masih mandi. ’’Ini harus cepat, Mas. Soalnya, jam 09.00, mereka sudah tidak bikin yopia lagi,’’ kata Pop.
 
 
Ya, sejak Selasa malam, 17 Januari 2023, Pop memang sudah mewanti-wanti. Ia ingin mengajak kami mengunjungi rumah produksi yopia. Kue kering khas Lasem. Ia juga meneruskan pesan dari produsen yopia—yang malam itu belum kami ketahui namanya—bahwa proses produksi hanya pukul 08.00-09.00. ’’Lewat jam itu, kita nggak bisa lihat bikinnya,’’ ucap Pop yang juga co-founder Kesengsem Lasem tersebut.
 
Sejak malam itu pula, sebersit penasaran sudah muncul. Seperti apa bentuknya? Apakah seperti bakpia? Atau nopia khas Banyumas yang bulat dan agak keras? Atau mungkin empuk seperti bakpau atau mantau? Lalu bagaimana rasanya? Asin? Gurih? Atau legit?
 
Secuil penasaran itulah yang membuat kami beringsut dari Rumah Merah Heritage sekitar pukul 08.00. Tanpa sarapan, kami melaju ke arah barat di gang kecil itu. Setelah mentok, mobil berbelok ke kiri. Ke arah selatan.
 
 
Melewati satu gang, mobil berhenti di ujung pertigaan. Kami turun dan berjalan kaki ke barat. Ternyata masih Jalan Karangturi VII. Hanya berjarak sekitar 500 meter dari hotel yang kami tinggali itu.
 
Sempat tebersit bahwa yang kami kunjungi itu adalah kawasan sentra pembuatan yopia. Artinya, ada lebih dari satu pabrik yopia. Bisa jadi, di situ akan berjajar-jajar pembuat kue khas itu.
 
Ternyata, yang kami kunjungi hanya satu rumah. Bangunannya bersahaja. Dindingnya papan kayu. Rumah geladak Jawa. Ada kerai besar yang menutupi teras rumah tersebut. Menutupi beberapa sofa dan kursi lawas.
 
Pop menyuruh kami menunggu. Tak seberapa lama, datanglah Tony Haryanto. Ia bermotor dengan menenteng tabung gas elpiji. Sejurus kemudian, ia dengan cekatan memasang tabung elpiji itu ke sebuah oven besar.
 
Ya, Tony adalah generasi keempat pembuat yopia di keluarganya. Sejak kapan? ’’Lha itu, tahunnya saya ndak tahu. Sejak kongco (kakek buyut, Red),’’ ucapnya.
 
Konon, kakek buyut Tony adalah yang mengawali pembuatan yopia di Lasem. Namanya Tam Tjip Liang. Fotonya masih dipajang di dinding ruang tamu rumahnya.
 
Kata Tony, resep yopia benar-benar tidak berubah sejak empat generasi silam. Sehingga, tekstur dan rasa yopia sekarang ya sama seperti era kongco-nya. ’’Yopia itu ya gini. Ambil kalau mau ngincipi,’’ ucap Tony. Ia menunjuk nampan besar yang ada di dekat oven besar. Di situ ada hamparan yopia.
 

YOPIA, penganan tradisional khas Lasem yang sudah bertahan selama empat generasi.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
 
Bentuk kue itu nyaris bulat. Kira-kira sebesar bakpau. Tetapi ia keras. ’’Dalamnya memang kopong,’’ kata lelaki kelahiran 23 Maret 1979 tersebut.
 
Tekstur kopong atau berongga itu memang ciri khas yopia. Ia tidak padat seperti bakpia atau nopia. ’’Orang yang nggak tahu sering protes. Iki kok kopong-kopong (ini kok berongga, Red),’’ ujar Tony menirukan nada protes tersebut.
 
Kami pun mencicipi yopia tersebut. Kresss. Bagian luarnya cukup renyah. Bukan renyah seperti kerupuk yang kriuk. Tetapi lebih mirip adonan terigu yang kering. Satu gigitan, gigi kami langsung bertemu udara di dalam yopia yang melembung tersebut. Ada sejumput rasa manis gula jawa yang menempel pada ’’dinding’’ bagian dalam yopia. Pas banget. Rasa tawar tepung terigu yang berpadu gula jawa.
 

WARAS alias Siek Tian Nio mengisikan gula merah ke dalam adonan tepung terigu. Bulatan ini lantas dipipihkan.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
 
Tak puas hanya mencicipi, kami pun ingin menjajal membuat Yopia. Kami menuju ruangan dapur di sisi timur rumah. Di situ ada perempuan sepuh berambut pendek. Dia memakai baby doll biru dengan celemek kain. Wajahnya yang penuh kerut terlihat ramah. Binar mata plus tarikan bibirnya seperti selalu tersenyum.
 
Dialah Siek Tian Nio, ibu Tony. Kepada kami, dia minta dipanggil sebagai Bu Waras.
 
Bersama generasi ketiga pembuat yopia itulah kami belajar bikin kue… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: