Series Jejak Naga Utara Jawa (62) : Masakan Peranakan di Ujung Pulau Madura

Series Jejak Naga Utara Jawa (62) : Masakan Peranakan di Ujung Pulau Madura

Wajah Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, yang sederhana. Tetapi, menu-menu di sana cukup istimewa.-Boy Slamet-Harian Disway-

Rasanya, tak ada kawasan pantai utara yang tidak tersentuh budaya peranakan. Budaya-budaya tersebut berasimilasi. Membentuk budaya baru. Termasuk di Sumenep, Madura. Di sana, terdapat warung masakan peranakan yang unik sekali.
 
TIDAK ada ciri-ciri Tionghoa pada Rumah Makan 17 Agustus. Berlokasi di Jalan Panglima Sudirman, bangunannya biasa saja. Dindingnya bercat biru muda, dengan jendela-jendela besar berkaca nako.
 
Bahkan menu-menu peranakannya yang lezat tak jadi jualan utama. Yang dipromosikan di banner panjang yang dipasang di fasad bangunan adalah camilan khas Madura. Seperti rengginang lorjuk, suket teki, hingga keripik gayam. Tim Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway melepas penat sekaligus makan siang di sana, 1 Februari 2023.
 
Kami memesan menu-menu paling khas di depot itu. Yakni lontong cap go meh, rawon, sop buntut, serta gulai kambing. Tak butuh waktu lama, keempat jenis makanan itu sudah tersaji di meja.
 
 
’’Mertua saya yang bikin depot ini. Sudah lama, 1957, habis perayaan tujuh belasan,’’ ungkap Trisnadewi, ahli waris rumah makan 17 Agustus. Bersama sang suami, dia mengelola rumah makan tersebut mulai 1972. ’’Resepnya ya mertua yang ngajarin. Saya nggak ngubah sama sekali,’’ lanjut dia.
 
Trisnadewi adalah istri mendiang Edhi Setiawan, budayawan Madura yang terlahir dengan nama Phwa Tiong Sien. Kakek dan nenek moyang Edhi asli Tiongkok. Mereka mendarat di Sumenep pada 1800-an. Edhi, yang meninggal tahun lalu, adalah generasi kesembilan.
 
Seperti halnya para imigran Tiongkok di masa itu, mereka membawa ragam kuliner dari negeri asalnya. Dan karena beberapa bahannya tidak ditemukan di Madura, makanan-makanan itu dimodifikasi. Jadilah kuliner peranakan. Salah satunya, ya lontong cap go meh itu. Sering dijadikan menu utama perayaan Cap Go Meh, padahal di Tiongkok tidak ada.
 
Rumah makan 17 Agustus punya PR besar untuk bisa memperkenalkan masakan peranakan ke warga Sumenep. Sebab, meski beberapa menunya persis seperti di Jawa, lidah warga lokal tak mudah menerima. Menu-menu peranakan—yang sudah hasil modifikasi—harus dikulik lagi. 
 

Dengan telaten, Trisnawati (kanan) melayani wawancara tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa di Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, 1 Februari 2023.-Boy Slamet-Harian Disway-
 
’’Lontong cap go meh di sini beda sama yang di Jawa. Di sini enggak ada sayur lodehnya,’’ kata Trisnawati. Ya, isiannya hanya lontong, potongan ayam, daging, serta telur rebus. ’’Orang Madura enggak suka sayur. Kalau yang ijo-ijo mau. Kayak daun kelor gitu, mereka suka. Tapi kalau sayur yang diolah seperti ini, tidak suka. Apalagi rebung,’’ jelas dia.
 
Ciri khas peranakan juga tampak pada rawon. Rawon buatan Trisnadewi tidak memakai keluak. Alhasil, warnanya tidak hitam. Melainkan cokelat bening.
 
Ceritanya, dulu warga Tionghoa melihat rawon khas Jawa Timur yang kuahnya tampak ’’kotor’’. Mereka tidak suka. Maka, kuah itu ’’dibersihkan’’ dengan cara tidak menyertakan keluak. Untuk mengimbangi bumbu-bumbunya, sekaligus memberi sensasi pedas, Trisnawati menggunakan cabai merah mesar.
 
Sementara itu, dalam resep mertua Trisnawati, gulai kambingnya tidak menggunakan santan. Rasa dan aroma kambing yang kuat dipadukan dengan tulang rusuk sapi. Sehingga, tanpa santan pun, sudah gurih banget. ’’Biar rasanya pas, waktu masak airnya jangan banyak-banyak. Disesuaikan dengan takaran bumbu-bumbunya,’’ papar perempuan 72 tahun tersebut. 
 
Jika terbiasa menyantap menu-menu serupa di Jawa—utamanya Jawa Timur—mungkin ada cita rasa yang kurang. Rawon dan gulainya terasa ringan. Tapi tasty. Tak ada rasa eneg atau berat ketika harus menghabiskannya hingga suapan terakhir. Lontong cap go meh tanpa sayur juga terasa lezat. Karena absennya lodeh dikompensasi dengan daging dan ayam yang gurih dan sangat empuk.
 

Rawon khas Rumah Makan 17 Agustus yang tidak hitam pekat.-Boy Slamet-Harian Disway-

Lontong cap go meh khas Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep.-Boy Slamet-Harian Disway-

Sop buntut Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, yang dagingnya begitu empuk.-Boy Slamet-Harian Disway-

Gulai kambing khas Rumah Makan 17 Agustus, Sumenep, ini terasa tidak berat dan berlemak di mulut.-Boy Slamet-Harian Disway-
 
’’Dulu ngerebus dagingnya lama. Berjam-jam. Sekarang cepet. Wong pake panci kayak presto itu,’’ ungkap Trisnadewi. Yang dia maksud adalah pressure cooker.
 
Selain resep, Trisnadewi juga tidak mengubah interior restonya. Tetap jadul seperti ketika awal berdiri. Pegawai-pegawai dia juga orang lama. Sudah ikut dia mulai 20 sampai 30 tahun yang silam. Awet.
 
Bersama Edhi, Trisnadewi yang punya nama Tionghoa Phwa Kiem Hwie itu, dikaruniai dua putri dan enam cucu. Semua sudah merantau, jauh dari Sumenep. Apakah tidak ada yang berminat melanjutkan usaha kuliner peranakan? ’’Ada yang suka masak. Tapi ya enggak mau pulang. Enak di rantau,’’ kata Trisnadewi.
 
Tak takut resep peninggalan mertua hilang ditelan zaman? ’’Enggak. Makanan ada zamannya sendiri,’’ tutur dia, lantas tersenyum. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Annisa Salsabila, Boy Slamet.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: