Series Jejak Naga Utara Jawa (64) : Terigu Tiongkok Membalut Gula Jawa

Minggu 09-04-2023,14:59 WIB
Reporter : Tim Harian Disway *)
Editor : Doan Widhiandono

Rasa akulturasi dalam yopia terasa pada bahannya. Yakni, terigu dan gula Jawa. Hanya itu. Simpel. Sesimpel cara pembuatan dan wujud penganan khas Lasem, Kabupaten Rembang, tersebut.
 
SIEK Tian Nio sedang sibuk pagi itu, Rabu, 18 Januari 2023. Dia sudah tenggelam dalam kesibukannya. Aktivitas yang ditekuninya sejak lama. Sejak gadis. Yang dipelajarinya turun-temurun sejak era kakeknya, Tan Tjip Liang.

Karena itu, otot-otot tangannya pun sudah hafal. Seberapa banyak adonan terigu yang harus diambil, bagaimana cara memasukkan adonan gula merah, hingga memipihkan adonan sebelum masuk ke oven.

Hari itu, perempuan yang lebih suka dipanggil Waras itu sedang dibantu oleh seorang lelaki. Panggilannya Pak Min. Dan Waras, perempuan kelahiran 17 November 1946 itu, tidak keberatan ketika datang seorang ’’pembantu’’ lagi. Yakni, Retna Christa, anggota tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa.
 
BACA JUGA : Resep Bertahan Empat Generasi

Tugas Nana, sapaan Retna Christa, tampak mudah. Hanya mengisikan adonan gula merah ke dalam adonan terigu. Ya, pagi itu seluruh adonan memang sudah siap. Adonan kulit berbahan terigu, air, dan sedikit minyak. Sehingga, teksturnya lembap dan kalis. Lumer dan liat. Sedangkan adonan gula merah—yang bahannya adalah gula kelapa, air, dan tepung—sudah berbentuk seperti dodol.

Awalnya, sejumput adonan terigu dipipihkan memakai tangan. Membentuk semacam mangkuk kecil. Setelah itu, secuil adonan gula merah dimasukkan lalu ditutup lagi.

Tentu saja, kecepatan tangan jurnalis Harian Disway itu tidak bisa menandingi Waras, Pak Min, apalagi Tony Haryanto. ’’Gini, lho,’’ ucap Tony memeragakan cara mengisi gula itu. Ibu jari dan telunjuk kedua tangannya tampak berputar cepat. Tak sampai 30 detik sudah beres.

Begitu juga saat memipihkan adonan terigu yang sudah berisi gula itu. Cukup berat. Liat. Waras terlihat santai memakai roller kayu. Sedangkan Nana masih kesulitan menggelindingkan roller tersebut. Apalagi, penggiling yang dipakai Nana sudah tua. Lebih pendek. ’’Itu gilingan dari kongco (kakek buyut, Red) saya,’’ kata Tony.

’’Lho, jangan dipukul gitu,’’ ucap Waras saat melihat Nana memukulkan roller itu ke adonan. Mungkin biar lekas pipih. Akhirnya, kami pun menyerahkan pekerjaan itu ke ahlinya. 
 

TONY HARYANTO menunjukkan yopia yang baru keluar dari pemanggang. Dalam sehari, ia menghasilkan 400 kue.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Ya, bahan dan proses pembuatan yopia memang sangat sederhana. Tetapi, di situ terlihat jejak akulturasi yang kuat. Denys Lombard, peneliti Prancis, menyatakan bahwa perantau Tiongkok mengenalkan terigu yang berbahan gandum itu ke Nusantara. Itu melengkapi khazanah kuliner Indonesia yang banyak didominasi penganan manis berbahan gula kelapa.

Proses berikutnya juga simpel. Adonan terigu dan gula yang sudah pipih itu dioven. ’’Suhunya sekitar 250 (derajat celsius). Masaknya lima menit,’’ kata Tony. Betul juga, dalam waktu singkat, adonan pipih itu sudah mengembung. Siap disantap.

’’Tapi, banyak orang suka yang bantat. Kalau ngembang, katanya kopong. Ndak ada isinya,’’ ujar pria kelahiran 23 Maret 1979 itu. Bahkan, ada juga pembeli yang memesan yopia agak gosong. Itu pun bisa dilayani oleh Tony.

Tony menjamin, yopia produksinya tanpa bahan pengawet. Hanya terigu, air, minyak, dan gula Jawa. ’’Tapi, (harga) bahannya sekarang ngeri. Naik terus,’’ katanya.

Tony memang sangat paham dengan bisnis itu. Sebab, di antara empat anak Waras, hanya Tony yang terlibat langsung. ’’Dia dulu sering ikut jualan. Keliling dari rumah ke rumah. Bawa kaleng,’’ kata Waras tentang anak bungsunya itu.

Sehingga, Tony pun dipercaya mengembangkan usaha yang di-branding sebagai Yopia Cap Kupu-Kupu tersebut. Dalam sehari, ia bisa memproduksi 400 yopia. Sebelum pandemi, produksinya mencapai 500-600 kue. Semuanya dijual dengan harga Rp 30 ribu per 10 biji. ’’Ada yang dijual langsung, ada yang dikirim ke kota lain, ada yang dipesan toko lain terus mereka cap sendiri,’’ ucap Tony.
 

CUKUP LIMA MENIT, adonan yopia sudah mengembang di dalam oven. Siap disantap.-Yulian Ibra-Harian Disway-
 
Selain menjalankan bisnis itu, Tony sejatinya juga pegiat budaya Tionghoa. Ia adalah seniman barongsai. Spesialisasinya menjadi ekor barongsai. Pas dengan badan besarnya. Sehingga, sesekali ia bisa mengangkat tubuh pemain barongsai bagian kepala. Saat bergabung di Yayasan Trimurti Lasem, Tony pernah meraih juara II Lomba Barongsai Nasional 2022.

Kini, hari-harinya dihabiskan di dapur. Mengolah yopia dan membakarnya di oven. Lakunya bisa dibayangkan bak pendekar kungfu yang memperdalam penguasaan jurus unsur api. Sedangkan Waras serupa pendekar sepuh yang tekun menempa diri dengan terus menerus mengolah adonan tepung. Asyik… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 
SERI BERIKUTNYA : Warung Pelestari Akar Budaya Peranakan
Kategori :