BALI, HARIAN DISWAY - Di kediamannya yang terletak di Gang Nakula no 12, Desa Buruan, Blahbatuh, Bali, maestro seni barong I Nyoman Artawa dan puteranya, Wayan Suartawan, memaparkan sejarah seni barong di Pulau Dewata.
"Dulu, seni barong memiliki fungsi yang sakral. Dipentaskan hanya ketika terdapat piodalan atau upacara-upacara tertentu di pura. Sama sekali tak boleh dipentaskan di luar lingkungan pura," ujar Artawa.
Hal tersebut dipegang tegung oleh Artawa dan Suartawan sejak awal mulai menari barong. Yakni untuk kepentingan sakral. Atau dalam istilah tradisi Bali, barong sungsungan. "Ditarikan untuk upacara saja. Tak hanya saya dan ayah. Generasi awal maestro seni barong di Buruan, I Made Kerse, kakek saya, juga awalnya bertujuan sama," ungkap Suartawan.
BACA JUGA:Kapasitas SUGBK 77 Ribu, Tapi Indonesia vs Argentina Kok Cuma Dijual 60 Ribu Tiket?
BACA JUGA:Sebulan Sebelum Tewas Taruna Politeknik Pelayaran Surabaya Mengaku Sering Dibully
Namun, demi memopulerkan seni tradisi dan kebudayaan Bali, para seniman Barong sepakat untuk membuat pementasan yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum. Ide ini bermula sejak 1948. "Awalnya muncul kesenian barong tourist di kawasan Batubulan. Lalu seniman-seniman barong saat itu mulai membuatkan piranti barong khusus untuk dipentaskan secara umum," terangnya.
Akhirnya, muncullah dua macam Barong. Yang pertama untuk kepentingan sakral adalah barong ketet. Yakni barong yang dimainkan oleh dua orang penari. Kemudian barong untuk tujuan hiburan rakyat bernama barong buntut. Barong ini yang hanya dimainkan oleh satu orang saja.
Maka jika terdapat piodalan atau upacara di pura, barong yang digunakan adalah barong ketet. Tidak diperbolehkan menggunakan barong buntut. Hingga kini, Artawa masih kerap memainkan barong ketet di pura. Partnernya adalah Suartawan, puteranya sendiri.
BACA JUGA:Christian Adinata Mengalami Cedera Robek Ligamen Lutut
Tapi jika ayahnya berhalangan, terlebih karena telah memasuki usia senja dan tenaganya sudah tak seperti dulu, Suartawan memiliki partner khusus. Yakni Putu Gede Wirabawa Putra. "Kalau dengan Suartawan, saya bagian kepala atau punggal. Ia bagian ekornya. Tapi jika saya tidak bisa, Suartawan bagian punggal. Rekannya, Putu, bagian ekor," terang pria 52 tahun itu.
Pikiran dan hati yang bersih akan menunjang olah rasa dalam bermain barong. Sehingga penarinya mampu membuat barong yang dimainkannya terasa "hidup". Hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas itu membutuhkan waktu cukup lama untuk menguasainya.(Guruh Dimas Nugraha)