HARJANTO HALIM orang yang apa adanya. Bicaranya lugas, konkret, lucu. Kritiknya tajam, tapi tidak melukai perasaan. Seperti pemaparannya dalam seminar bertajuk "Aseng dan Indonesiaku" yang dihelat di Semarang, Sabtu (10/6) kemarin.
"Kita di sini bisa lantang bilang kita sangat toleran dan terbuka. Tapi, ketika kembali ke rumah masing-masing, tetap saja ngajari anaknya untuk jangan kumpul dengan orang ini orang itu. Yang Tionghoa mewanti-wanti anaknya jangan berteman dengan pribumi, mereka pemalas. Yang pribumi mewanti-wanti anaknya jangan berteman dengan Tionghoa, mereka makan babi. Ayo, ngaku saja! Kita nyari mantu masih suka yang sesuku atau seagama, kok. Termasuk juga saya," kata Harjanto, sambil disambut tawa ngakak hadirin.
Begitulah. Di ruang-ruang privat, menurut bos minuman serbuk Marimas tersebut, kita masih sangat sulit untuk menjadi orang yang toleran pada perbedaan.
BACA JUGA:Lolos 16 Besar Indonesia Open 2023, Fajar/Rian: Kami Tidak Ingin Mengulang Kesalahan
BACA JUGA:Kemenparekraf Pasang Stiker di Sekolah dan Kampus, Ajak Anak Sekolah Liburan Di Indonesia.
"Kita baru bisa disebut toleran kalau sudah bisa mendobrak batasan-batasan dogmatis. Agama harus jadi jembatan, yang menghubungkan kita dengan yang lain. Bukan jadi pagar atau tembok, yang membatasi atau malah melarang kita untuk berkawan dengan yang dianggap liyan," tambah Harjanto.
"Kita juga baru bisa disebut toleran kalau sudah bisa mengkritik dan menyadari kekurangan diri atau keyakinan yang kita imani. Dan, di waktu yang sama, mengakui kelebihan yang ada pada orang atau keyakinan lainnya," lanjut ketua Perkumpulan Sosial Budaya Rasa Dharma (Boen Hian Tong 文獻堂) dimaksud.
Masih banyak permasalahan sosial keagamaan yang disoroti Harjanto dalam obrolan santai setelah acara. Misalnya terkait masih banyaknya masyarakat kita yang percaya pada hal-hal mistik dan klenik, serta aras-arasen dalam mempelajari sains. Juga terkait masih banyaknya masyarakat kita yang saleh dalam ranah ritual-ketuhanan, tapi tidak dalam ranah spiritual-kemanusiaan.
Padahal, bagi Harjanto, walau bagaimanapun kemanusiaan harus diutamakan. Sebab, sebagaimana diajarkan pepatah klasik, "救人一命, 胜造七级浮屠" (jiù rén yī mìng, shèng zào qī jí fú tú): menyelamatkan satu nyawa manusia, lebih bermakna daripada membangunkan istana untuk orang mati. (*)