Penjurian Lapangan Brawijaya Award (17): Terabas Lintasan Berkabut Ledokombo-Senduro

Senin 19-06-2023,08:00 WIB
Reporter : Taufiqur Rahman
Editor : Noor Arief Prasetyo

Tak terasa hampir dua jam kami bercengkrama di Punden Pura Amerta Jati Luhur Desa Ledokombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Membincang bagaimana dua agama yakni Islam dan Hindu bisa duduk bersama di satu majelis. Bagaimana saat ditelusuri lebih dalam, ada banyak kecocokan di antara keduanya. Juga kisah-kisah bagaimana warga Ledokombo mulai berani menyingsingkan keraguan, kecurigaan, bahkan mungkin kebencian yang sempat tertanam di antara dua Agama. 

Intinya, sore itu kami benar-benar mengagumi dan bersyukur tinggal di Nusantara. Menjadi warga Indonesia. 

Tapi tanpa kami sadari, kabut putih semakin tebal. Di belakang gerbang bentar sudah tidak kelihatan apa-apa lagi. Kecuali titik-titik pijar dari mulut bapak-bapak Tengger yang merokok untuk mengusir kedinginan. 

Forum diakhiri. Kami meminta pada Kepala Desa Masaendi agar kawan-kawan santri dan pemuda Pura diijinkan pulang karena kelihatannya sudah kedinginan. 


Suasana malam di Pura Amerta Jati Luhur Ledokombo saat penjurian lomba Babinsa Inspiratif Brawijaya Awards.-Syahrul Rozak Yahya-

Mungkin Sanghyang Surya sudah tenggelam di balik cakrawala atau mungkin tidak. Kami tidak tahu. Yang jelas suasana semakin gelap. Pelita-pelita mulai dinyalakan. 

Pura Amerta Jati Luhur sendiri dihiasi oleh lampu-lampu berwarna kuning dan merah menyoroti pelinggih yang menempati sanggar pamujan. Sorot lampu-lampu itu sesekali membentuk pola tertentu di tengah kabut. Benar-benar terasa seperti Kahyangan atau Nirvana di cerita-cerita wayang. 

“Loh, katanya mau menginap di rumah saya,” seloroh Masaendi kecewa saat saya memberitahu bahwa tim memutuskan untuk segera bertolak ke Senduro malam itu juga. 

Sungguh sangat sayang sekali melewatkan malam yang begitu syahdu di Ledokombo. Apalagi dengan keramahan warganya. Tapi ini tugas. Kalau kami bisa mencapai Senduro malam ini. Esok hari kami sudah bisa bertolak ke Kota Lumajang. Menuju tempat penilaian di Dawuan Lor. 

“Kami mohon maaf sekali, pak Lurah,” kata saya setelah menjelaskan. 

Para perwira Staff Ter, Pasiter Kapten Ari, Danramil Hasan dan para tentara pun mendekat untuk berembuk. 

Kondisi sangat tidak ideal. Kabut tebal sekali. Jalan menyeberang ke Senduro lebih ekstrim dari yang sudah kami lalui. Gelap pula. Baik saya maupun Fiu tidak akan berani menyetir dalam kondisi itu. 

“Bisa!” kata Pelda Achmad Ridlo’I dengan penuh keyakinan. “Soalnya rumah saya di Senduro juga. Sekalian pulang,” katanya sambil cengar-cengir. Kekhawatiran saya pun sedikit reda. 

Pelda Ridlo’I pun melakukan brifing singkat. “Nanti saya di depan pakai motor trail memandu,” katanya. 

“Nanti biar saya yang bawa mobilnya,” kata Pak Lurah Masaendi menimpali. “Sekarang ayo ke rumah saya dulu, sudah disiapkan,” imbuhnya. 

Tipikal warga tengger. Kami bersantap malam di sebuah pawon di salah satu rumah Pak Sandi. Dapur yang tak seberapa luas yang di tengahnya ada tungku perapian. Tim juri pun berjubel dengan para prajurit untuk meraih kehangatan tungku di tengah gigitan udara dingin. 

Kategori :