HARIAN DISWAY – Kalau pacar kita toxic, tinggalkan saja. Kalau keluarga pasangan toxic, putuskan saja. Kalau circle kita toxic, pindah lingkaran pertemanan saja.
Kita sering kali berusaha keras menghindari hal-hal toxic. Tanpa menyadari bahwa, mungkin, justru kitalah yang toxic.
Apa tanda-tanda kita adalah orang yang toxic dalam hubungan?
Jaime Mahler, seorang terapis, mengalami sendiri hal itu ketika bertemu dengan keluarga pasangannya.
BACA JUGA: Hentikan Toxic Relationship Sekarang Juga!
Dilansir dari Insider, ketika berkunjung ke rumah pasangannya, Mahler melihat kenyataan yang tak terduga. Keluarga pasangannya sangat ramah, peduli, dan memberikan pujian yang tulus kepada siapa saja. Termasuk dirinya.
Itu berbanding terbalik dengan keluarganya yang hanya ramah kepada partner kerja.
’’Aku mulai menyadarinya. Berkaca dari bagaimana aku berinteraksi dengan orang-orang yang tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat atau sehat dalam hidupku,’’ ujar Mahler.
BACA JUGA: Menghindari Jebakan Toxic Productivity
Sekarang, Mahler sering membuat konten podcast bertajuk Unlearned di Instagram. Mahler ingin mendidik setiap orang tentang pola-pola hubungan yang tidak sehat ini.
Ia membagikan tiga tanda seseorang dikatakan toxic dalam hubungan.
Pasif Agresif kepada Orang Lain
Pernahkah Anda bersikap pasif-agresif kepada pasangan atau teman? Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan emosional. Tapi dengan cara yang manipulatif.
Contohnya, ketika Mahler ingin mendapat perhatian dari pasangan, ia menggunakan kode seperti ini.
BACA JUGA: Berkaca dari Virgoun, Waspadai 3 Hal ini Ketika Hendak Menjalin Hubungan
’’Ya Tuhan, enak kali ya, kalau bisa enggak haus. Asyik sekali kalau ada orang yang bisa memperhatikan kebutuhan pasangannya.’’ Intinya sebenarnya ingin diambilkan minum. Tapi disampaikan dalam bentuk sindiran.
Menuru Mahler, ini tindakan keliru. Ia menyarankan, lebih baik bilang secara to the point. Meminta kebutuhan Anda dipenuhi secara langsung adalah pendekatan yang lebih sehat daripada bermain kode-kodean.
Insecure Parah
Ini terjadi jika seseorang memiliki pandangan negatif tentang dirinya sendiri. Dan berharap pasangannya menariknya keluar dari kepercayaan dirinya yang rendah.
Bila sang pasangan dianggap gagal mengangkat kepercayaan dirinya, maka orang itu marah ke pasangannya.
Ini banyak sekali terjadi di dunia nyata. Penyebab insecure biasanya bukan soal fisik. Melainkan pencapaian. Misalnya, merasa pendidikannya lebih rendah dari pasangan, penghasilan lebih rendah, atau status sosialnya tidak setara.
BACA JUGA: Attachment Style, Pengenalan Diri sebelum Menjalani Hubungan
Mereka meminta pasangannya untuk memahami kelemahan mereka secara terus-terusan. Bahkan mempermasalahkan hal-hal kecil. Contohnya begini.
’’Yakin, mau jalan sama aku? Aku cuma naik motor, lho. Bukan Lamborghini.’’
’’Ajaib ya, kamu mau pacaran sama aku yang cuma penjaga toko bangunan.’’
Kata Mahler, jika merasa malu atau ragu pada diri sendiri, orang itu mestinya fokus untuk mengubah perilakunya. Atau meningkatkan kualitas diri. Agar kepercayaan dirinya meningkat.
Bertahan dalam pertemanan yang tidak menyenangkan
Terkadang hubungan pertemanan tidak dapat memuaskan keinginan Anda sepenuhnya. Sebaliknya, membuat Anda harus berkorban dan lelah di dekat mereka.
BACA JUGA: Rasa Insecure yang Menghancurkan Segalanya
Contoh saja, Mahler merasa lelah ketika ada teman yang lebih senang membicarakan orang lain. Ia berpendapat, menggosipkan orang lain sangat tidak berguna dan buang-buang waktu saja.
Nah, hal seperti itu sebaiknya tidak dipendam sendiri. Semestinya, Mahler jujur kepada teman-teman untuk mengubah sikap mereka.
Jika mereka tidak mau berubah, tinggalkan saja circle itu. Karena itu berarti Anda dan teman-teman tidak memiliki visi yang sama. Jika memaksakan kehendak, maka kitalah yang dianggap toxic dalam lingkaran pertemanan itu.
Bagaimana? Ada tanda-tanda yang melekat pada Anda? (*)