PADAHAL, Tony Herman bukan lulusan ilmu sosial, tapi kepeduliannya terhadap isu-isu kebangsaan tak perlu ditanyakan. Tiap kali bertemu pengusaha lulusan Jerman yang hobi menerbangkan pesawat ini, masalah-masalah kebangsaan selalu menjadi pokok perbincangan –terutama terkait relasi Tionghoa dengan penduduk mayoritas di Indonesia.
"Kalau Tiongkok bisa mendamaikan Saudi yang sunni dan Iran yang syiah, masak kita tidak bisa hidup harmonis dengan masyarakat non-Tionghoa di negeri kita?" kata Toni, serius, saat mengisi talk show dalam Konferensi Pemuda Hakka Indonesia (KPHI) ke-7 di Lombok, Jumat (1/9) kemarin.
Karena itulah, Tony –yang merupakan wakil ketua umum Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera bidang kaderisasi-- menegaskan perlunya introspeksi. Ia mengutip Albert Einstein yang pernah mengatakan, "Adalah naif bila kita mengharapkan hasil yang berbeda, sementara kita terus-menerus melakukan hal yang sama."
Pasalnya, Tony mengamati, komunitas Tionghoa telah banyak sekali menggelar bakti sosial untuk daerah yang tertimpa bencana di seluruh Indonesia. Bisa dikata, mereka selalu datang paling awal. "Tetapi, sepanjang sejarah Indonesia, kenapa sampai sekarang gerakan anti-Tionghoa masih ada saja?" tanyanya.
"Jangan-jangan seperti dibilang Mas Novi, mienya sampai, tapi silaturahminya tidak," ujar Tony, menyitir Pengasuh Rubrik Cheng Yu Harian Disway Novi Basuki yang juga mengisi acara.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Ketua DPW LDII Jatim Moch. Amrodji Konawi: Sui Yu Er An
Makanya, menurut Tony, ke depan perlu dipikirkan apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia kebanyakan. Sebab, belum tentu yang menurut kalangan Tionghoa terbaik, dianggap terbaik pula oleh yang non-Tionghoa.
Dalam kondisi demikian, lanjut Tony, yang perlu dikedepankan ialah ''love language'', bahasa cinta. Mencari tahu apa yang benar-benar dibutuhkan yang liyan dengan cara seperti diungkapkan pepatah Tiongkok klasik, "设身处地" (shè shēn chǔ dì): menempatkan diri di posisi orang lain, supaya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. (*)