JPU KPK Arif Rahman, kepada wartawan, Selasa, 1 Agustus 2023, mengatakan: ”Ya, betul. Putusannya majelis hakim tadi membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan.”
Harapan Ali Fikri agar masyarakat ikut memantau sidang vonis Edy memang klop dengan harapan masyarakat agar KPK memberantas korupsi.
Riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) membuktikan bahwa rakyat sangat berharap agar KPK kuat. Riset ICW dilakukan di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar) pada 26 Oktober sampai 20 November 2015. Jumlah responden 1.500 orang. Hasil riset diumumkan di Jakarta, 26 November 2015.
Hasilnya, antara lain, keberadaan KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan masyarakat. Terlihat dari 97,7 persen responden menyatakan membutuhkan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lalu, KPK dibanding dua aparat penegak hukum (APH) lain, Polri dan kejaksaan, masyarakat lebih mengunggulkan KPK dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat memberi KPK nilai 7,8 (skala 0 sampai 10). Sementara itu, kejaksaan 5,6 dan kepolisian 5,3.
Hasil riset itu klop dengan permohonan Ali Fikri di atas.
Tapi, apalah daya masyarakat dalam mengawal perkara korupsi di pengadilan? Apakah dengan masyarakat menonton jalannya sidang vonis Edy di PN Bandung Senin pekan depan bakal membuat majelis hakim grogi? Lantas, hakim menghukum berat Edy? Mungkinkah bisa begitu?
Maka, permohonan Ali Fikri itu merupakan tanda bahwa KPK kurang berdaya memberantas korupsi. Dalam arti, percuma KPK menangkap tersangka korupsi, melakukan penyidikan, menyusun surat dakwaan, menuntut hukuman. Sebab, terpenting adalah hasil akhirnya: vonis.
Vonis ditentukan hakim. Dalam mengadili, hakim juga yang semula menjabat di Mahkamah Agung (posisi lebih tinggi dibanding hakim pengadilan negeri).
Nah, kalau KPK kurang berdaya dan masyarakat tak punya daya memberantas korupsi, terus bagaimana masa depan Indonesia? Apakah calon pejabat publik yang kini masih jadi mahasiswa sudah siap-siap korupsi, kelak? (*)