SURABAYA, HARIAN DISWAY - Suasana mendadak pecah ketika seorang penari tampil di panggung Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur. Dia membuka pementasannya tidak dengan langsung menari.
Namun, dengan sambutan layaknya MC remaja. “Angkat tangannya guys! Siapa suka joget TikTok? Joget apa yang viral sekarang, ya?,” tanyanya.
BACA JUGA:Buka Sawung Dance Festival, Seniman Hari Ghulur Maknai Tahlil lewat Tarian Berjudul Silo
BACA JUGA:Seru! Sawung Dance Festival 2023 hadir di Surabaya
“Pargoy!,” seru para penonton berusia muda. Anak-anak Gen-Z yang akrab dengan dunia media sosial. Lantas tarian pargoy pun dipertontonkan.
Layaknya di TikTok, empat penari menari bersama. Wajah mereka ceria dalam gerakan riang.
Adegan beralih, satu per satu penari menyajikan konten mereka masing-masing. Dengan ring light di tangan, ada yang membuat konten tentang memasak.
Seorang penari lain membuat konten make up. Seorang lagi konten tentang curhat rumah tangga.
Gestur-gestur para pembuat konten tiktok yang khas, yang diwujudkan dalam koreografer apik. Artistik, tapi bernada sindiran.
Seolah semuanya harus tampil prima, tampil menawan hanya demi konten.
Para penari bergoyang di tengah balutan tirai gemerlapan. Keluar-masuk, lalu kembali memegang ring light. Lantas menutup kepala mereka dengan kain.
Seolah semuanya sebenarnya palsu belaka. Apa yang sesungguhnya ada, tak sesuai dengan yang dihadirkan di media sosial.
Itulah koreografi apik berjudul Fomo on TikTok. Karya Putri Ameilia yang dipentaskan dalam Sawung Dance Festival 2023.
Mereka tampil pada hari kedua, 23 September 2023. Putri merupakan koreografer muda yang terpilih untuk tampil dari kurasi ketat yang dilakukan oleh Sawung Dance.
Karyanya itu berhasil menghibur pengunjung. Terkait karyanya Putri mengatakan bahwa itu tentang manusia masa kini telah menjadikan tren sebagai sebuah sorotan. "Tentang mereka yang menghalalkan segala cara demi sebuah konten,” katanya.
Koreografer 20 tahun itu lantas tersenyum. Lalu melanjutkan, “Kalau tak berbuat demi konten, maka akan dianggap ketinggalan zaman. Agaknya seperti ramalan Jayabaya.”
BACA JUGA: Dua Generasi Penari Barong Penerus I Made Kerse: Berawal untuk Menjunjung Sungsungan (1)
Dalam nujum Jayabaya disebut: Zamane zaman edan. Sing ora edan ora keduman. Artinya, zaman gila, yang tak ikut gila tak kebagian. Itu dianggap mencerminkan masa kini.
Melalui karya itu, selain menghibur, Putri juga menyindir budaya duplikasi media sosial. Seorang viral, yang lain mengikuti. Malah siapa saja berlomba-lomba untuk jadi viral. Demi popularitas, demi keuntungan. Hingga putus urat malu dan hilang etika.
Karya Putri itu menjadi penampil kedua setelah pementasan Nandhang karya Sri Cicik Handayani.
Sawung Dance Festival ditutup dengan penampilan kolaboratif dua koreografer: Hari Ghulur asal Madura dan Reisa Shimojima asal Jepang. Mereka membawakan komposisi Japvanese. (*)