"Kalau akan melakukan OTT terhadap seseorang, tentunya kami juga melakukan penyadapan," jelasnya.
Nah, dari penyadapan tersebut terdapat kode-kode komunikasi bahkan ada yang melakukan pergantian nomor kontak dan terjadinya cukup masif.
"Kami dari tim penyidik dan penyelidik saat itu menduga pelakunya adalah Firli, yang saat itu adalah Deputi Penindakan KPK,” ungkap Aulia.
Dari hasil DPP Dewan Pegawai seharusnya Firli dihukum. Namun Pimpinan KPK saat itu malah mengembalikan. Sehingga tidak ada catatan pelanggaran.
"Setelah itu beliau (Firli Bahuri) bisa terpilih secara aklamasi oleh Komisi 3 DPR RI. Bayangkan 56 anggota Komisi memilih Firli Bahuri menjadi Pimpinan KPK,” jelasnya.
Setelah menjadi Pimpinan KPK, menurut Aulia, Firli masih melakukan pelanggaran. Di antaranya bertemu dengan tersangka salah satunya Lukas Enembe.
BACA JUGA:Lukas Enembe Sanggah Punya Jet Pribadi: Apabila Memang Ada, KPK Silakan Ambil!
"Dari track record atau rekam jejak ini kita bisa menilai orang," papar Aulia.
Pemerasan Pada SYL Seperti Rantai Makanan di Hutan
Menurut Aulia, kasus yang terjadi pada SYL dengan kasus Firli sangat menarik. Berbeda dengan kasus dugaan keterlibatan Firli di penanganan perkara korupsi lainnya.
Pada kasus ini, SYL diduga melakukan pemerasan. Di mana SYL diduga melakukan pemerasan terhadap bawahannya untuk penempatan jabatan di Kementerian Pertanian.
Kasus ini kemudian berjalan di KPK, namun dalam perjalanannya, SYL kemudian diduga di peras oleh pimpinan KPK.
"Ini seperti kalau rantai makanan di hutan, predatornya bertingkat," kata Aulia.
Aulia menduga pemerasan ini dilakukan oleh bersama-sama. Tidak hanya Firli sendiri. Sebab pimpinan KPK kolektif kolegial.
Menurut Aulia dari kasus pemerasan yang terjadi di Mentan terlihat adanya pemaksaan dari atasan pada bawahan.
"Jika dilihat dari pasal 12, terdapat paksaan dari atasan di mana bawahan tidak bisa menolak, kalu dia menolak maka akan mendapatkan implikasi sesuatu, baik itu diberhentikan atau di mutasi," jelas Aulia dalam podcast bersama Abraham Samad.