”Tanah yang dikuasai Prabowo itu merupakan hasil pembelian dari pabrik kertas PT Kiani Lestari milik Bob Hasan. Dibeli Prabowo pada 2004. Cash. Saya saksinya. Bukan pemberian negara.”
Kalla kepada pers, Rabu, 10 Januari 2024, melanjutkan: ”Prabowo datang ke kantor saya. Ia ingin membeli pabrik kertas PT Kiani Lestari yang macet di Bank Mandiri. Lalu, saya telepon Dirut Bank Mandiri (waktu itu) Agus Martowardojo. Dikatakan Agus, boleh dibeli asal cash USD 150 juta. Akhirnya dibeli kontan oleh Prabowo.”
BACA JUGA: Prabowo Tidak Ambil Pusing Diberi Nilai Jelek Oleh Ganjar dan Anies: Emang Gue Pikirin?
Soal tanah Prabowo juga sudah dijelaskan Prabowo kepada wartawan Selasa, 9 Januari 2024. Begini:
”Yang benar, tanah saya 500.000 hektare. Bukan 340.000 hektare seperti dikatakan Pak Anies. Tanah itu saya beli cash. Lalu, pada dua setengah tahun lalu saya serahkan tanah itu semuanya kepada Bapak Presiden Jokowi untuk digunakan negara.”
Prabowo cerita, bermula sekitar tiga tahun lalu. Ia ditugasi Presiden Jokowi untuk menggarap proyek food estate guna mengantisipasi krisis pangan. Lalu, Prabowo mengatakan ke Presiden Jokowi, begini:
”Saya sampaikan ke Bapak Presiden: Bapak presiden, kalau lahan ini dibutuhkan untuk lumbung pangan bangsa Indonesia, pakai saja lahan HGU milik saya ini. Gunakan. Saya siap. Ikhlas. Lantas, kita menggarap itu.”
BACA JUGA: Prabowo Ungkap Berbesar Hati Diolok-Olok : Semua Akan Kembali ke Yang Maha Kuasa
Dari kronologi di atas, kelihatan jelas. Debat capres compang-camping. Di forum serius itu, kandidat bicara tanpa dilengkapi data. Tanpa data, keliru pula.
Keliru bukan cuma pada luas tanah (dari pernyataan 340.000 hektare, yang sesungguhnya 500.000 hektare). Lebih gila lagi, tanah seluas itu sudah disumbangkan Prabowo ke negara Indonesia pada dua setengah tahun silam. Padahal, tanah itu pada 2004 dibeli Prabowo, cash. USD 15 juta (dengan nilai kurs sekarang, itu Rp 2,33 triliun).
Belum ada orang Indonesia yang ikhlas menyumbang ke negara sebesar itu. Prabowo di pernyataannya malah tidak menyebut harga tanah tersebut. Seolah angka USD 150 juta tidak penting. Penyebut angka itu malah Jusuf Kalla, yang gurunya Anies. Ironi kontra ironi.
Namun, begitulah para kandidat presiden kita sekarang ini. Mereka orang-orang cerdas yang bermain akrobat kata-kata. Lalu, kata-kata mereka bagai menyihir rakyat Indonesia. Yang berdasar data BPS, mayoritas berijazah SD. Demi memperbanyak jumlah coblosan (vote).
Di mata mayoritas rakyat, akrobat itu kelihatan sangat rumit, meliuk-liuk. Seperti lingkar-melingkar kerupuk ukel. Disambut rakyat dengan tempik sorak. Meskipun tanpa gizi.
Tapi, kandidat memang harus begitu kalau mau menang pilpres. (*)