Mayoritas atau 29,59 persen lapangan pekerjaan utama penduduk Indonesia di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Posisi kedua adalah perdagangan besar dan eceran sebesar 19,20 persen.
Dengan proporsi seperti itu bagaimanakan wajah demokrasi Indonesia? Akankah berwajah teknokratis? Hal ini bisa dijawab dengan sederhana bahwa dalam sistem politik di Indonesia yang terjadi adalah anomali.
Meskipun jumlah penduduk mayoritas adalah pekerja di sektor Industri belum sampai pada 50 persen dari jumlah mereka yang bekerja, sehingga saluran aspirasi perjuangan kepentingan mereka pun tidak tercermin dalam ciri-ciri karakter visi misi partai politiknya dalam menyikapi industrialisasi.
Di Indonesia tidak ada partai politik yang berbasis pada ciri/karakter perjuangan masyarakat berdasarkan pekerjaannya (misalnya dalam bentuk Partai Buruh, Partai Petani, Partai Nelayan, Partai Pedagang). Meskipun sempat ada Partai Buruh, tetapi tidak mendapatkan suara ketika berkontestasi melawan partai berbasis ideologi, agama, dan atau simbol ketokohan tertentu.
Bila kita kembalikan pada pembagian jenis-jenis masyarakat demokrasi industri menurut Mayer dkk, Indonesia belum bisa disebut sebagai negara post industry yang memiliki layaknya model demokrasi yang selayaknya ada pada masyarakat post industry.
Maka, apa sebenarnya yang diharapkan oleh masyarakat/rakyat pemilih terhadap presiden dan wakil-wakil rakyat yang dipilih pada pemilihan umum?
Pilihan terhadap person (presiden-wakil presiden, gubernur dan bupati/wali kota beserta wakilnya), serta partai politik sulit untuk didasarkan pada pertimbangan/alasan adu gagasan, adu konsep, adu paradigma antar-para kontestan. --
Dengan model demokrasi di Indonesia seperti saat ini, maka pilihan terhadap person (presiden-wakil presiden, gubernur dan bupati/wali kota beserta wakilnya), serta partai politik sulit untuk didasarkan pada pertimbangan/alasan adu gagasan, adu konsep, adu paradigma antar-para kontestan.
Karena semuanya calon, baik person maupun partai politik, tidak akan bisa menawarkan gagasan/konsep yang spesifik kepada suara mayoritas pemilih berdasarkan kebutuhan yang mendesak saat ini maupun yang prospeknya di masa mendatang.
Contoh konkretnya adalah gagasan soal hilirisasi. Bila hilirisasi dikebut maka akan berpotensi mengurangi lahan untuk pertanian/perkebunan/kehutanan/perikanan darat dan sekaligus menyerap potensi tenaga kerja dari bidang-bidang itu untuk beralih ke sektor industri-industri hilir.
Sejauh manakah hilirisasi terjadi? seberapa banyak lahan, tenaga kerja yang terserap? Bila cukup banyak/signifikan lantas bagaimana dengan fakultas-fakultas, institut-institut pertanian, pabrik pupuk dan ketahanan pangan dari pertanian dalam negeri? Bagaimana peta jalan/road map-nya?
Mayoritas masyarakat/rakyat pasti belum bisa melihat bagaimana capres/cawapres menawarkan konsep/gagasan tentang provinsi-provinsi mana saja yang menjadi fokus hilirisasi beserta komoditas-komoditas apa saja yang akan dikembangkan di provinsi-provinsi tersebut?
Semuanya masih abstrak. Rakyat mungkin akan menafsirkan sendiri-sendiri gagasan-gagasan yang diajukan oleh capres-cawapres itu karena tidak paham gambaran yang lebih jelasnya.
Ambil contoh Jawa Timur. Gagasan hilirisasi capres dan cawapres seperti apa? Bagaimana pembangunan pertanian dan perikanannya? Bagaimana pemenuhan pupuk untuk pertanian di Jawa Timur? Bagaimana pemenuhan kebutuhan kapal dan alat tangkap ikan bagi nelayan? Daerah-daerah mana saja yang akan dijadikan industri hilir? Di mana pusat pertanian? Di mana pusat perikanan tangkap? Akankah dikalahkan dengan hilirisasi tambang?
Bila di level provinsi cukup jelas maka tinggal diangkat di level nasional. Di level nasional akan semakin jelas gambaran kebutuhan infrastruktur penunjang gagasan ini sehingga konektivitas, penjagaan keamanan, sarana pendidikan, dan kesehatan dan yang teramat penting alokasi anggaran-anggarannya. Sehingga tidak hanya sekadar lempar janji satu desa bantuannya Rp 5 miliar apalagi makan siang gratis.
Sebagai warga negara tentunya saya boleh khawatir. Jangan-jangan hal-hal yang diulas itu tidak ada karena mayoritas masyarakat kita ini secara tidak terbuka, ternyata banyak yang hidup/bekerja/bermata pencaharian/bergantung justru pada sektor politk, pendapatan, makan-minum, dan kebutuhannya dipenuhi dari kegiatan-kegiatan politik. Misalnya sebagai anggota DPR/DPRD, pengurus partai, konsultan politik, media politik, buzzer, hingga tukang bikin spanduk, kaus hingga atribut kampanye lainnya.