HARIAN DISWAY - Banyak pihak yang tiba-tiba terhenyak dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa “presiden boleh lho memihak, presiden boleh lho kampanye” dalam kontestasi pemilihan presiden pada 14 Februari 2024 nanti.
Wajar saja pernyataan Jokowi ini menuai reaksi dari berbagai pihak. Mengingat selama ini arus dominan yang menguasai perspektif publik adalah: presiden itu harus netral, presiden itu tidak etis ikut cawe-cawe, kalaupun cawe-cawe mbok ya jangan cetho welo-welo. Begitulah kurang lebih gambaran harapan publik pada umumnya.
Pandangan soal pemerintah pusat dan daerah beserta ASN harus netral ini pernah disampaikan melalui berbagai media oleh Presiden Jokowi.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), segenap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala faerah, calon anggota dewan perwakilan takyat, calon anggota dewan perwakilan daerah, atau calon anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
BACA JUGA: Menyoal Debat Capres-cawapres yang Minim Substansi: Demokrasi Industri atau Industri Demokrasi?
Lantas siapakah PNS? PP tersebut mendefinisikan “Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan”.
Lantas Pejabat Pembina Kepegawaian adalah “pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara dan pembinaan Manajemen Aparatur Sipil Negara di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kalau menilik pada definisi-definisi tersebut di atas, memang presiden dan menteri-menteri tidak masuk sebagai jabatan yang harus tunduk pada PP tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil ini.
Usai Debat Keempat (cawapres) bertema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, semua paslon capres-cawapres kompak menyanyikan lagu Padamu Negeri. --
Sementara itu hingga saat ini perihal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh presiden memang “tidak/belum” diatur oleh undang-undang. Yang ada hanyalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Pasal 6 undang-undang tersebut dinyatakan: (1) Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
(2) Pengunduran diri sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada saat didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di KPU sebagai calon presiden atau calon wakil Presiden yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
(3) Surat pengunduran diri sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada KPU oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai dokumen persyaratan calon presiden atau calon wakil presiden.
Namun, apakah faktanya demikian? Pembaca dapat menyimpulkannya sendiri.
Adapun perihal menteri ada Undang-undang Nomor h39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyebutkan definisi tentang: “Menteri negara yang selanjutnya disebut menteri adalah pembantu presiden yang memimpin kementerian”.
Dalam Pasal 23 Undang-undang tersebut menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.