Mengatasi kekeringan pastilah menjaga hutan yang berupa tegakan pohon, bukan ranting-ranting vegetasi. Bagi-bagi lahan untuk masyarakat sekitar hutan tanpa kejelasan peruntukannya bagi kepentingan konservasi merupakan tindakan sembrono.
Perhutanan sosial berpotensi mencerabut habitat ekologis yang dijarah fungsi lindungnya. Kebijakan kehutanan yang terlontar menyiratkan adanya kondisi psikologis yang mengkhawatirkan.
Fakta menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi perkebunan berlangsung aksesif dan cenderung melegalkan deforestasi. Bunuh diri ekologi acap kali dipelihara atas nama investasi.
Kini tiba saatnya negara tampil berwibawa. Rakyat membutuhkan ”air susu ibu pertiwi” tetap mengalir agar anak-anak negeri ini tidak mengalami petaka hilang sirna kertaning bumi, tenggelam di lubuk zaman seperti diceritakan dalam sejarah keruntuhan Majapahit.
Hari-hari ini harus menjadi momentum pembenahan tata kelola hutan dan membangun lahan lindung perdesaan. Jangan sampai warga mati laksana ayam yang limbung di kandang sendiri.
Kekeringan dapat dicegah dengan menghadirkan ”desa hutan” dan ”kota hutan” (bukan sekadar hutan desa/kota) sebagai ”yuridsiksi mata air”.
Ini merupakan solusi membangun NKRI tanpa krisis air lagi. Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengonservasi kembali setiap kampung memiliki embung, lumbung, gayung (irigasi), dan saung (kamling) merupakan ”program prioritas” mencegah kekeringan maupun kemelaratan.
Mengabaikan hal itu berarti melakukan pembiaran ”pementasan drama” bunuh diri ekologi yang terencana dalam jangka panjang.
Negara harus tanggap atas kondisi alamnya dan beranjak menilik setiap jengkal wilayah nasional yang berpotensi melakukan bunuh diri ekologi.
Kekeringan yang ”menikam” 2.677 desa telah memberikan pelajaran keras kepada negara. Setiap jengkal tanah hutan pantang dilelang.
Membagi lahan hutan tanpa kontrol akan melahirkan ”azab lingkungan” yang menyengsarakan. Negara mesti berbenah bahwa kekeringan merupakan manifestasi ngunduh wohing pakerti.
Rakyat hidup terlunta tanpa air yang memadai cukuplah sampai di sini. Kalau tidak, buat apa ada pemilu yang menyedot anggaran negara dan menarik investasi yang merusak negeri.
Sehubungan dengan ini, ada pesan filosofis Mahatma Gandhi (1869–1948): Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed. Ini menandakan bahwa bumi dapat mencukupi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah sanggup untuk memenuhi keserakahan seseorang.
Edward Grand mengeluarkan pula buku spektakuler A History of Natural Philosophy (2011) agar manusia mempelajari cara kerja alam yang selalu dapat diturunkan dari generasi ke generasi (berkelanjutan).
Saya percaya bahwa untuk menghindarkan bumi dari kekeringan, tentu kita tidak perlu berandai-andai sebagaimana pesan satire model Alan Weisman (2007): guna menyelamatkan bumi, haruskah memang sampai menunggu manusia tak ada lagi di dunia ini, ya The World without Us.
Akhirnya, kuhantarkan kegelisahan lingkungan ini melalui puisi Jose M.A. Capdevilla yang dikutip Mochtar Lubis dalam novelnya, Senja di Jakarta (2009), yang menyayat: