Ketiga adalah clique culture yang merupakan antitesis dari budaya inklusif. Dengan budaya klik, karyawan di luar klik merasa tak nyaman. Pimpinan/karyawan mengelompok berdasar identitas tertentu. Satu klik dengan klik lainnya menunjukkan sikap tak peduli dan tercela.
Sikap tercela mengarah pada pelecehan ras, agama, jenis kelamin, usia, asal daerah, dan lain-lain. Budaya klik cenderung diskriminatif dan menolak keberagaman (diversity). Karyawan dengan pola pikir berbeda dengan klik tertentu akan dikucilkan dan menjadi sasaran intimidasi.
Budaya klik mengakibatkan karyawan merasa terisolasi serta memperlemah atau bahkan merusak kohesivitas tim yang telah dibangun. Budaya klik juga merupakan antitesis dari koneksi, persatuan, dan kolaborasi antarkaryawan.
Keempat adalah authoritative culture. Power dan kendali merupakan inti dari budaya otoritatif. Penyalahgunaan power dan kontrol memicu tindak perundungan dan diskriminasi di tempat kerja. Budaya itu bisa berupa favoritisme, nepotisme, dan diskriminasi gender.
Dalam jenis budaya itu, karyawan dapat dihukum, padahal bersikap jujur dan berperilaku sesuai aturan. Karyawan yang menyuarakan kebenaran justru dicap sebagai pemicu kekacauan. Juga, terjadi jika berani mempertanyakan kebijakan menyimpang bakal terancam kariernya.
Budaya otoritatif membuka pintu peluang lebih lebar bagi pimpinan perusahaan tak menghargai ide, pendapat, atau inisiatif karyawan. Akibatnya, karyawan merasa tak dihargai dan tetap di posisi nonmanajerial tanpa memiliki power atau kekuatan.
Jenis toxic work culture kelima adalah fear-based culture. Dalam perusahaan dengan budaya kerja yang sehat, karyawan didorong untuk selalu memperbaiki proses, prosedur, dan metode kerja menuju titik keberhasilan.
Sebaliknya, dalam budaya berbasis rasa takut, karyawan dibungkam melalui intimidasi, kekerasan, atau pelecehan. Budaya berbasis rasa takut merupakan salah satu budaya paling toxic karena menciptakan lingkungan kerja lebih liar dan keras terhadap karyawan.
Dengan budaya kerja tak manusiawi, karyawan mengalami rasa takut mengalahkan kepercayaan diri dalam bekerja. Karyawan juga cemas dalam intensitas kecenderungan ancaman kehilangan pekerjaan yang meningkat.
Mengatasi Toxic Work Culture
Perusahaan harus segera mengambil langkah strategis mengatasi toxic work culture. Ada berbagai cara membangun kultur kerja bebas budaya toxic. Pimpinan perusahaan dapat mengubah lingkungan berfokus pada upaya membangun lingkungan lebih sehat.
Guna mengatasi budaya toxic, Donald Sull & Charles Sull (2022) dalam tulisannya yang bertajuk How to Fix a Toxic Culture menjelaskan, untuk mengatasi toksisitas, ada tiga faktor pendorong. Yakni, kepemimpinan, norma sosial (social norm), dan rancangan kerja (work design).
Norma sosial merupakan faktor menentukan bagi perilaku yang diharapkan dan dapat diterima akal sehat dalam konteks interaksi sosial di tempat kerja. Perusahaan mengusung tema respek atau rasa hormat terhadap core values sebagai bagian utama penegakan norma sosial.
Norma sosial sebagai rujukan karyawan baik sebagai individu maupun tim atau unit kerja. Norma sosial membentuk subkultur bagi setiap departemen yang menjunjung tinggi etika dan aturan sosial. Subkultur individu, tim, dan departemen merupakan elemen budaya perusahaan.
Faktor kepemimpinan dan norma sosial saling terkait. Pimpinan dapat memperkuat atau bahkan melemahkan norma melalui serangkaian tindakan yang dilakukan. Norma sosial memengaruhi kebijakan pimpinan. Norma sosial dan kepemimpinan sebagai faktor pendorong perubahan organisasi.