DI era digital saat ini muncul isu toxic work culture alias budaya tempat kerja toksik. Racun di tempat kerja merupakan salah satu risiko budaya kerja yang perlu diatasi dengan tepat. Mark C. Perna (2022) di Forbes menegaskan bahwa toksisitas meningkat dan mengganggu suasana kerja.
Mengutip hasil riset yang dipublikasikan MIT Sloan, Perna menunjukkan budaya kerja toksik merupakan penyebab utama keresahan individu. Banyak karyawan keluar meninggalkan pekerjaan (resign) alias pindah ke tempat kerja berbeda dipicu oleh suasana kerja tak kondusif.
BACA JUGA: 3 Tanda Dirimu Toxic dalam Hubungan, Sadari dan Ubah Sekarang!
Dalam tulisan yang bertajuk How to Protect Your Team from a Toxic Work Culture yang diterbitkan Harvard Business Review, John Baird dan Edward Sullivan (2022) menyajikan data U.S. Department of Labor tentang banyaknya karyawan di AS yang resign. Ada sekitar 4,4 juta karyawan keluar pekerjaan pada 2020. Sebagian besar beralasan lingkungan kerja tak nyaman.
Pada 2019 Society for Human Resource Management (SHRM) melakukan riset toxic work culture. Hasil riset menunjukkan, perusahaan menanggung biaya yang sangat tinggi (high cost) dalam membangun budaya kerja yang kondusif. Dalam riset SHRM tersebut ditemukan, 58 persen karyawan mengambil langkah resign karena toxic work culture.
BACA JUGA: Hubungan Beracun Itu Sudah Makan Banyak Korban, Hentikan Toxic Relationship Sekarang Juga!
Makna Toxic Work Culture
Toxic work culture dapat dimaknai sebagai kondisi yang memicu perasaan tak senang. Wujud toksik di tempat kerja dapat berupa kekerasan/pelecehan seksual, intimidasi, atau perundungan. Kekerasan atau pelecehan tak sekadar menimpa karyawan yang bekerja secara offline (luring), tetapi juga tatkala bekerja secara online.
Lingkungan kerja toksik juga menimpa karyawan yang bekerja di rumah atau tempat lain. Pelecehan dan tindak kejahatan lain terhadap karyawan dilakukan pelaku melalui surel, gambar, video, serta aplikasi chating.
Pengertian lain toxic work culture adalah kondisi perusahaan yang diwarnai permusuhan, ketidakpercayaan, egoisme, munculnya klik, dan bertebarnya gosip di kalangan karyawan. Kondisi buruk disebabkan pimpinan gagal membuat harmonisasi.
BACA JUGA: Menghindari Jebakan Toxic Productivity
Jenis Toxic Work Culture
Heidi L. Kurter (2021) merumuskan lima jenis budaya beracun. Pertama adalah hustle culture yang dipicu eksploitasi karyawan bekerja lebih lama tetapi diupah lebih sedikit. Jadwal kerja panjang berakibat penurunan kesehatan mental, keseimbangan terganggu, dan kelelahan fisik.
Kedua adalah blame culture (budaya menyalahkan). Pimpinan lepas tanggung jawab dengan menyalahkan karyawan sebagai kambing hitam. Karyawan takut atas kesalahan yang tak dilakukan. Bayangan ancaman kehilangan pekerjaan terlintas mengganggu konsentrasi bekerja.
Budaya saling menyalahkan terlihat dari munculnya istilah ”itu bukan tanggung jawab saya”. Budaya tersebut tak sekadar membahayakan lingkungan kerja, tetapi juga mengganggu komitmen membangun tanggung jawab (accountability) atas semua tindakan yang dilakukan.