Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (1): Bermula dari Jakarta, Menyebar ke Tiap Sudut Kota

Kamis 23-05-2024,19:30 WIB
Reporter : Mohamad Nur Khotib
Editor : Doan Widhiandono

Setiap pertanyaan yang kami lempar, selalu dijawab oleh Sholeh. Zainal fokus melayani pembeli yang datang. “Waktu itu gempa Aceh 2004, awalnya satu-dua buka di Jakarta Utara. Kebanyakan kan merantau ke sana dulu, usaha kayu,” tutur sang adik, Sholeh, yang mempersilakan kami duduk di tikar yang sama.


PENJAGA Warung Madura selalu punya ciri khas saat bertugas. Seperti Ivan Ferdi Handrianto yang mengenakan sarung dan kaus oblong saat menjaga Warung Madura di Jalan Menur Pumpungan, Surabaya.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga

Sholeh sendiri juga ikut berbisnis kayu sejak awal 2000. Berangkat dari nol. Memboyong keluarga kecilnya ke ibu kota. Lalu berhenti karena pasokan kayu dari Kalimantan sudah seret. 

“Jadinya lari ke kelontong. Ya, di situlah ide-ide buka 24 jam,” tuturnya dengan logat Madura yang khas. Menurut kesaksiannya, warung-warung Madura di Jakarta itu diinisiasi oleh warga rantau dari Kabupaten Sumenep. Khususnya Kecamatan Giligenting dan Talango. Dua kecamatan yang terletak di kepulauan kecil.

“Terus, ya, merembet ke kecamatan-kecamatan lain. Akhirnya jadi se-kabupaten,” seloroh pria 48 tahun itu. Tak hanya ke Jakarta. Mereka juga menyebar ke kota-kota lainnya seperti Yogyakarta, Semarang, Banyuwangi, hingga Bali.

Sholeh dan Zainal membuka warung Madura di Jakarta sejak 2014. Berpindah-pindah. Loncat dari satu daerah ke daerah lain. Baru kemudian pindah ke Sidoarjo pada 2019.

Pertimbangannya hanya satu. Mereka ingin lebih dekat dengan kampung halaman. “Dari sini ke Sumenep kan deket, bisa motoran,” tandasnya. (bersambung)

Kategori :