Kehadiran ritel modern telah menggerus eksistensi toko-toko kelontong milik warga. Di tengah ketatnya persaingan itu, kita melihat banyak warung Madura justru bermunculan. Mereka menjadi simbol ekonomi kerakyatan yang masih bertahan. Salah satu strateginya dengan membuka warung selama 24 jam nonstop.
—------
WAKTU sudah menunjukkan pukul 01.30, Minggu, 12 Mei 2024. Dingin menyergap. Jalanan dekat Balai Desa Keboansikep, Gedangan, itu lengang. Hanya diterangi oleh lampu ruko-ruko yang sudah tutup.
Hampir tak terlihat satu orang pengendara pun melintas. Di median jalan, beberapa gerobak nasi goreng dan mi ayam menyala oleh lampu kecil. Sesama pedagang menghabiskan waktu dengan mengobrol. Sembari menunggu pembeli yang butuh mengganjal perut di malam hari.
Persis di depan gerobak mi ayam itulah Toko Amelia masih buka. Warna-warni Pertamini di muka warung juga masih menyala. Pelatarannya pun terang benderang oleh lampu putih. Ada lemari es, lemari es krim, hingga rak jajanan tertata berjejer di sebelah kiri.
Jelas itu warung Madura. Bisa ditebak hanya dengan memperhatikan layout warungnya yang seragam. Etalase kaca memenuhi bagian depan ruangan. Menjadi pembatas antara penjual dan pembeli.
Sementara tembok belakang dan sisi kiri ruang dihiasi rak kayu. Biasanya warna biru, kuning, atau hijau. Diisi aneka minuman, roti, hingga mi instan.
“Kalau warna raknya memang tergantung selera. Bikin sendiri juga,” seloroh Taufiqurrahman yang berdiri di balik etalase, penjaga warung yang melayani kami membeli minuman.
Sudah seperti seragam dinas penjaga warung Madura. Rahman pun mengenakan sarung dan kaus oblong biasa. Tak ada gelagat ngantuk dari air mukanya. Fresh. Seperti orang yang bekerja kala siang hari.
Sebab, warung Madura memang punya sistem sif. Sif pertama bertugas menjaga pagi sampai malam. Sif kedua menjaga mulai malam sampai pagi. Nah, Rahman bertugas di sif kedua.
BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga
“Istri saya yang jaga sampai jam 9 malam. Kan kasihan kalau perempuan harus melekan,” tutur lelaki 28 tahun tersebut. Faktor lainnya tentu untuk keamanan. Karena itu pula, ada celurit menggantung di balik kalender yang menempel di tembok sisi kanan.
Logat Madura Rahman memang tak terlalu kental. Malah terasa ngobrol dengan orang-orang Indonesia Timur yang berbahasa Indonesia. Ini karena sebelumnya Rahman lama merantau ke Kalimantan.
Warung itu memang punya mereka. Pasangan suami istri asal Pamekasan tersebut baru membuka warungnya 13 hari sebelumnya. Namun, modal awalnya disumbang oleh sang kakak.