SURABAYA, HARIAN DISWAY - Penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) penyiaran masih terus bergulir. Salah satunya dari Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Surabaya. Menurut mereka, beberapa pasal di RUU itu dinilai dapat mengancam kebebasan pers.
Mereka pun melakukan aksi damai di depan Gedung Negara Grahadi, Rabu 29 Mei 2023. Aksi itu diawali dengan jalan mundur dari simpang tiga Jalan Basuki Rahmat sampai ke titik aksi mereka: Taman Apsari. Di belakang massa aksi, diperlihatkan seorang pria menggunakan kaos hitam berjalan dengan membawa jeruji besi.
Tangan dan leher pria itu diikat dengan rantai. Di belakang pria tadi, seorang pria menggunakan jas dan berdasi. Persis penampilan pejabat saat ini. Pria yang tangan dan lehernya dirantai tadi menjadi pembuka orasi dalam aksi damai tersebut.
BACA JUGA: Tolak RUU Penyiaran, Puluhan Jurnalis Surabaya Gelar Aksi di Depan Gedung Grahadi
“Tangan kami terbelenggu. Kaki kami terpaku. Kau batasi ruang kami. Kau masukkan kami ke dalam ruang kepentingan. Kami akan melawan. Kami akan melawan. Jangan kau bungkam kami,” kata Achmad Ali, jurnalis BTV dalam orasinya.
Saat orasi, pria yang berperan sebagai pejabat itu pun langsung mengeluarkan lakban hitam dari kantong jasnya. Lalu, ia membungkam mulut jurnalis tadi dengan lakban tersebut. Sampai jurnalis tersebut tidak bisa lagi berbicara. Tidak bisa lagi menyampaikan orasinya.
Ketua IJTI Korda Surabaya Falentinus Hartayan mengatakan, adegan tersebut menggambarkan kondisi jurnalis ketika RUU Penyiaran itu disahkan menjadi undang-undang. Oknum-oknum pejabat yang bermasalah akan berlindung di balik pasal-pasal yang saat ini dinilai dapat melemahkan ruang gerak jurnalis.
BACA JUGA: MK Tolak Uji Materi UU Pers
Mereka dengan gampang memidanakan oknum jurnalis yang dianggap berseberangan dengan para pejabat itu. Sementara jalan mundur itu menggambarkan, RUU yang akan menggantikan UU RI nomor 32/2002 tentang penyiaran adalah kemunduran bagi kemerdekaan pers Indonesia.
“Beberapa pasal di RUU penyiaran itu sangat bertentangan dengan UU nomor 40/1999 tentang pers,” ungkapnya. Salah satu pasal yang dinilai dapat melemahkan ruang gerak pers adalah pasal BA huruf (q) dan pasal 42 ayat 2. Tentang penyelesaian sengketa jurnalistik.
Khususnya di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pasal itu dinilai tumpang tindih dengan UU nomor 40/1999 tentang pers. “Dalam UU pers, sengketa jurnalistik harusnya diselesaikan oleh dewan Pers,” bebernya.
Selain itu, mereka juga menyoroti pasal 508 ayat 2 Huruf (c) dalam RUU tersebut. Dalam pasal itu melarang penyiaran eksklusif hasil peliputan investigasi. Dalam aksi itu, ada tiga pernyataan sikap yang mereka sampaikan. Pertama, seluruh pasal yang mengancam kemerdekaan pers dibatalkan.
BACA JUGA: Jurnalisme di Indonesia Adalah Perjuangan