Memperhatikan kondisi makroekonomi AS memang begitu penting bagi Indonesia. Sebab, kondisi AS sangat memengaruhi ekonomi nasional. Baik dari sisi transaksi ekspor-impor maupun investasi portofolio. Kondisi ekonomi AS bisa berdampak pada pasar barang (ekspor) dan pasar uang/modal.
Jika kondisi ekonomi AS memburuk, pendapatan warga AS bakal anjlok. Permintaaan terhadap impor, termasuk dari Indonesia, bakal turun pula. Tentu hal tersebut bakal berdampak pada kinerja ekspor. Penurunan pendapatan ekspor bakal berdampak pada dua hal: pertumbuhan ekonomi dan rupiah.
Ekspor adalah salah satu faktor pertumbuhan ekonomi. Selain konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan impor. Penurunan ekspor juga melemahkan rupiah. Ekspor turun, dolar masuk turun, dan suplai dolar di pasar uang turun. Dengan asumsi kebutuhan dolar tetap, nilai rupiah akan melemah.
BACA JUGA: Imbas Israel Serang Iran: Rupiah Makin Anjlok, Ongkos Impor Ugal-ugalan, Waktunya Investasi Emas
BACA JUGA: Geopolitik Masih Memanas, Rupiah Diprediksi Terus Melemah
Dampak tersebut tentu tidak serta-merta. Ini karena kontrak-kontrak ekspor sudah dilakukan jauh hari. Tak mungkin langsung dibatalkan. Tapi, dalam jangka menengah, permintaan barang dari AS akan makin sedikit. Pada saatnya nanti, dampak buruk ekonomi AS bakal benar-benar terasa bagi kita.
Tekanan bagi Indonesia bisa dua kali lipat. Selain permintaan ekspor turun, buruknya ekonomi AS mengakibatkan harga-harga barang ekspor kita akan turun. Apalagi, ekspor nonmigas utama kita adalah komoditas sebagai bahan baku dan pendukung industri. Melemahnya permintaan output bakal menurunkan permintaan barang yang mengakibatkan harga komoditas juga bakal turun.
Jika ekonomi AS membaik? Ternyata bisa juga menjadi buruk bagi Indonesia. Banyaknya hot money dari AS di pasar uang menjadikan rupiah tidak stabil. Saat ekonomi AS membaik atau tingkat bunga naik dan harapan yield di AS naik, investor di pasar modal dan pasar uang bisa ramai-ramai cabut dari Indonesia.
BACA JUGA: Omzet ASII Menurun karena Rupiah Melemah
BACA JUGA: Mereaksi Ketegangan Timur Tengah, Rupiah Melemah
Mereka mencairkan investasinya, lalu mengonversinya ke dolar. Saat itu terjadi, permintaan dolar meningkat. Rupiah pun bisa langsung jatuh. Kebijakan quantitative easing di AS yang luar biasa juga menjadikan rupiah fluktuatif. Itu tak menguntungkan dunia usaha.
Itulah risiko ketergantungan yang tinggi terhadap AS. Dalam dunia global, apa yang terjadi di AS bisa langsung direspons di Indonesia. Maka, tak heran, begitu indeks Dow Jones jatuh, investor pasar modal mereaksi cepat dengan aksi jual. Harga saham-saham rontok. IHSG pun jatuh. Tak peduli sebenarnya bisnis emiten-emiten Indonesia itu tak terkait ekonomi AS.
Selain itu, rupiah bisa terdampak dari ketidakpastian ekonomi global. Panasnya geopolitik, terutama perang Rusia-Ukraina, telah mengganggu pasar energi dan pangan global. Harga komoditas pun naik. Situasi itu menciptakan tekanan inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Juga, mengurangi daya tarik investasi di pasar negara berkembang.
BACA JUGA: Prabowo Subianto: Pangan dan Energi adalah Kunci Menjaga Nilai Tukar Rupiah
BACA JUGA: Geopolitik Memanas, Rupiah Melemah
Kekhawatiran terhadap potensi resesi global membuat investor lebih berhati-hati dan cenderung memindahkan investasi mereka ke aset yang dianggap lebih aman seperti dolar AS. Mereka menjual asetnya dan menukarnya ke dolar. Rupiah pun melemah. (*)