KOMISI XI DPR RI telah menyetujui asumsi dasar ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Itu jadi anggaran pertama pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka 6 Juni 2024.
Persetujuan itu dilakukan dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah. Sejumlah pejabat yang hadir dalam pembahasan asumsi dasar ekonomi makro itu adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa.
Kemudian, ada Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Menkeu Sri Mulyani turut menanggapi hasil persetujuan para wakil rakyat itu.
BACA JUGA: Ekonomi Makan Tabungan
BACA JUGA: Tradisi Mudik Gairahkan Dinamika Ekonomi Masyarakat
Menurut dia, atas kesepakatan eksekutif dan legislatif, diharapkan bisa menjadi awalan yang baik bagi acuan penyusunan APBN 2025.
Asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2025 yang telah diketok meliputi, pertumbuhan ekonomi 5,1–5,5 persen year-on-year; inflasi 1,5–3,5 persen year-on-year, nilai tukar rupiah Rp 15.300–Rp 15.900 per dolar AS; tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,9–7,2 persen; tingkat pengangguran terbuka 4,5–5 persen; tingkat kemiskinan 7–8 persen; kemiskinan ekstrem nol persen; rasio Gini (indeks) 0,379–0,382; dan indeks modal manusia (indeks) 0,56.
Kemudian, indeks nilai tukar petani sebesar 115–120 dan indeks nilai tukar nelayan 105–108.
Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang masih dipengaruhi ketidakpastian, terutama dari faktor geopolitik dan berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok, titik tengah dari rentang asumsi pertumbuhan ekonomi 2025, yaitu 5,1–5,5 persen, yakni 5,3 persen, dinilai masih cukup tinggi.
BACA JUGA: Surabaya Menuju Ekonomi Hijau
BACA JUGA: BUMDes dan Kemandirian Ekonomi Desa
Dalam laporan Global Economics Prospect (GEP) 2023, Bank Dunia menyebutkan, pelemahan ekonomi Indonesia itu sejalan dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Pelambatan itu dipicu oleh sejumlah downside risks. Di antaranya, ketegangan politik Tiongkok versus Taiwan dan masih berlarut-larutnya konflik dagang dengan AS, yang turut mewarnai pelambatan ekonomi global.
Diperburuk pula oleh tensi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kebijakan negara-negara besar cenderung inward looking.
Kondisi itu berimbas pada penurunan volume perdagangan global sehingga laju pertumbuhan ekonomi dunia tersendat. Di samping itu, tekanan berat masih mengadang perekonomian global di tahun 2023 yang sedang berlangsung seperti laju inflasi global yang masih belum kembali ke level prapandemi sehingga suku bunga acuan global masih bertahan higher for longer.