BACA JUGA: Aksi Kamisan Surabaya: Demokrasi Mati Bungkam Jadi Saksi
Komporan para elite itu menghasilkan demo. Akhirnya pendemo terluka. Setelah pendemo terluka, para elite mengkritik polisi.
Para elite membayangkan, semestinya polisi tidak perlu bertindak keras. Misalnya, memukul pendemo dengan pentungan. Atau, menyemprotkan air dari water cannon. Para elite membayangkan, pendemo bakal menuruti anjuran polisi agar tidak maju ke garis demarkasi. Dengan teriakan polisi: ”Hei… Ayo mundur.” Maka, pendemo bakal mundur. Seperti anak-anak murid TK sedang berbaris.
Padahal, semua orang menonton berita demo di TV. Begitu beringasnya pendemo. Polisi pun membalas. Situasi di lapangan panas. Seolah pertarungan antara hidup dan mati. Namun, para elite seperti pura-pura tidak tahu, lalu menyalahkan polisi yang dinilai represif. Semacam ujaran adu domba. Aneh.
Pada demo kali ini anggota DPR terkesan bijaksana. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi beberapa anggota DPR mendatangi Polda Metro Jaya Jumat sore, 23 Agustus 2024.
Saat itu pendemo di depan gedung DPR sudah membubarkan diri, setelah demo dua hari di sana. Di polda Dasco menjenguk pendemo yang ditahan. Ia meminta polisi agar melepaskan para pendemo, kecuali untuk mereka yang melanggar hukum.
Dari 301 pendemo yang ditangkap, ada 50 orang yang tidak dipulangkan. Mereka pelanggar pidana. Sedang diproses polisi.
Dasco kepada pers: ”Tadi saya sudah bicara dengan teman-teman di DPR. Kami akan membentuk tim untuk melacak atau melihat mereka yang di rumah sakit-rumah sakit.”
Ada penyanyi dangdut senior, Machica Mochtar, yang mendatangi Polda Metro Jaya. Ternyata, anak Machica, Iqbal Ramadhan, ikut demo dan sempat ditahan. Iqbal sehari-hari bekerja sebagai asisten di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Machica akhirnya bertemu anaknyi. Ditanya wartawan, apakah sudah ketemu? Dijawab: ”Sudah.” Lantas, dia buru-buru pergi. Ternyata, Iqbal terluka. Katanya, tulang hidungnya retak. Juga, luka dalam.
Apakah Machica akan menuntut polisi? Dijawab: ”Belum tahu. Ini anak saya masih akan visum.”
Semua ibu pasti marah jika mengetahui sang anak terluka karena tindakan polisi. Tapi, ini si anak terluka akibat ikut demo. Bukan anak SD yang dirundung temannya. Peserta demo pasti sudah paham risiko bisa terluka. Bahkan, bisa mati. Sebagai harga protes menuntut demokrasi.
Sebagian besar pendemo tidak mengerti, hal apa yang mereka perjuangkan itu. Sebab, di antara ribuan orang itu ada juga penganggur, pencopet, dan penjahat jalanan. Atau, mereka yang diajak teman.
Sebagian besar pendemo tidak mengerti arti putusan MK yang menurunkan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam menjagokan calon peserta pilkada. Ambang batas semula 20 persen. MK menurunkan jadi: Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu 10 persen; 8,5 persen; 7,5 persen; dan 6,5 persen sesuai besaran DPT di daerah terkait.
Penurunan itu sudah sejak awal era reformasi diperjuangkan partai politik yang baru lahir, yang jumlah anggota masih sedikit. Tapi, tak pernah gol. Tujuan penyelenggara negara waktu itu adalah jumlah partai politik di Indonesia tidak terlalu banyak. Misalnya, sampai 100 partai seperti zaman Orde Lama. Maka, partai yang belum memenuhi ambang batas bisa berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung calon.
Apakah itu tidak demokratis? Di negara biangnya demokrasi (Amerika Serikat), jumlah partai cuma dua.