Seusai demo protes RUU Pilkada, para pihak mengevaluasi. Ada 301 orang yang ditahan. Sampai Jumat malam, 23 Agustus 2024, dipilah-pilah. Sebagian dilepaskan, sedangkan para pelanggar pidana diproses hukum. Tidak ada korban tewas. Korban luka ada di rumah sakit, ada yang pulang.
DEMOKRASI sudah mereka tegakkan. Demo mereka sukses. Akibat demo mereka, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas ambang partai politik mengajukan calon peserta pilkada 2024, yang akan dianulir DPR, sudah dibatalkan. Pihak DPR menyatakan, aturan pilkada mengikuti MK alias batal dianulir.
Kini tinggal hitung-hitungan jumlah korban luka. Peserta demo yang begitu marak sangat mungkin terluka. Mereka menjebol pagar halaman gedung DPR di beberapa titik. Kemudian, mereka merangsek masuk halaman gedung yang dijaga tim polisi. Pastinya terjadi bentrokan.
BACA JUGA: Demo Tegakkan Demokrasi
BACA JUGA: Respect! Dari Reza Arap Hingga Abang Ojol Bagikan Logistik ke Demonstran Tolak RUU Pilkada
Demo di Indonesia, meski diklaim sebagai aksi damai, tetap saja rusuh. Khas demo di negara-negara miskin dan berkembang seperti di Afrika. Tidak mungkin sedamai demo di negara-negara maju. Maka, peserta demo pasti sudah siap terluka, bahkan tewas.
Dari sisi polisi, ada tujuh yang terluka. Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan Jumat, 23 Agustus 2024, mengatakan, ”Terdata, tujuh anggota kami terluka. Kini sedang ditangani medis.”
Diperinci: ”Ada yang luka di pelipis. Ada yang di perut. Ada yang sobek di kepala. Ada yang sobek di kaki, sobek di tangan. Ada yang lututnya bengkak terkena pukulan besi. Ada yang lebam di lutut, terjepit gerbang gedung DPR.”
Tidak ada luka serius. Semuanya luka ringan.
BACA JUGA :Puan Maharani Ucapkan Terima Kasih Pada Demonstran: DPR Selalu Memperhatikan Aspirasi Dari Rakyat
BACA JUGA: Jubir Istana Hasan Nasbi Tanggapi Demonstrasi RUU Pilkada: Sebut Sebagai Kebebebasan Berekspresi
Kalau jumlah polisi terluka segitu, jumlah pendemo terluka bisa lima sampai sepuluh kali lipatnya. Sebab, polisi terkoordinasi, terlatih, dan di garis depan membawa tameng.
Namun, polisi bersikap defensif. Menahan serangan lemparan batu dan pukulan aneka benda. Polisi menyemprotkan air dari water cannon sebagai upaya defensif. Menghambat gerakan pendemo. Memaksa pendemo mundur. Kalau pendemo tidak dihambat, bisa merusak berbagai properti. Jika properti sudah dirusak, perusakan bakal meluas. Kalau meluas, sebagian Jakarta bisa hangus seperti kerusuhan 14 Mei 1998.
Rumitnya, demo di Indonesia ”dikompori” para elite. Bisa elite politik, elite pengusaha jurnalistik, serta elite ilmuwan dan pengamat. Sebelum terjadi demo, para elite itu menngompori dengan aneka komentar. Agar terjadi demo. Setelah demo usai, mereka menyalahkan polisi yang dinilai represif. Water cannon mereka anggap sebagai alat represif.
BACA JUGA: Cuitan ‘Kembalikan Teman-Teman Kami’ Trending di X, Demonstran Diamankan Oleh Aparat