Mayoritas para pelamar calon pimpinan KPK memahami atau setidaknya mengetahui informasi bahwa Indonesia mengalami stagnasi dalam hal pemberantasan korupsi karena indeks persepsi korupsi (IPK) pada 2024 ini tetap di angka 34, sama dengan sepuluh tahun yang lalu.
Artinya, tidak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi selama sepuluh tahun ini sehingga para pelamar calon pimpinan KPK diminta membuat makalah untuk bisa lolos syarat administrasi.
Sayang, itu tidak dipublikasikan untuk menilai apa visi, misi, dan komitmen para calon pimpinan KPK bila terpilih nanti. Sekaligus makalah-makalah itu seharusnya dapat digunakan untuk memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pemberantasan korupsi yang mungkin banyak yang bersifat breakthrough dari model-model pemberantasan korupsi yang selama ini hanya menghasilkan stagnasi IPK.
Dua mantan komisioner/pimpinan KPK yaitu, Chandra M. Hamzah dan Amien Sunaryadi, berbagai forum seminar/workshop, tulisan, dan wawancara di media.
Mereka lantang menyuarakan agar dilakukan perubahan besar-besaran dalam strategi pemberantasan korupsi dari yang selama ini berfokus pada pemberantasan perbuatan yang dapat menimbulkan/mengakibatkan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara agar diubah menjadi fokus pada perbuatan suap-menyuap.
Menurut dua mantan pimpinan KPK itu, salah fokus (salfok) KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia itulah yang membuat IPK Indonesia tidak kunjung membaik.
Bahkan, pemberantasan korupsi yang salfok itu bisa menimbulkan persoalan baru yang malah berpotensi menjadi pelanggaran hukum baru oleh aparat negara/aparat penegak hukum berupa kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan wewenang yang sering disebut dengan istilah ”kriminalisasi”.
Penyebabnya adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 (yang lazim disebut dengan UU Tipikor) secara eksplisit pada pasal awal-awalnya (pasal 2 dan 3) menyebut terminologi ”kerugian keuangan negara” dan ”kerugian perekonomian negara”.
Dengan begitu, tafsirnya menjadi lentur, melebar, dan meluas bahkan tidak jelas mengikuti rumusan atau tafsiran atas ”keuangan negara” atau ”perekonomian negara” yang merupakan ranah sistem keuangan dan perekonomian negara dan sekaligus sistem auditnya.
Akibatnya, unsur utama hukum pidana berupa actus reus (perbuatan yang dilanggar) dan mens rea (motif/niat jahat) malah tidak diperhatikan/dikesampingkan.
Penekanan pemberantasan korupsi pada ”keuangan negara” dan/atau ”perekonomian negara” membuat secara harfiah ”urusan korupsi tersentralisasi pada hal-hal yang berbau negara/kekuasaan” yang tentunya sangat dekat dengan urusan anggaran negara (pusat dan daerah), kebijakan publik, perilaku pejabat negara, dan badan usaha milik negara (termasuk BUMD) sehingga berkelindan sangat erat dengan politik nasional hingga lokal.
Pertanyaannya, siapakah penguasa anggaran, pemegang kebijakan publik, pejabat negara, hingga pengendali manajemen badan usaha milik negara/milik daerah itu? Jawabannya adalah politisi dengan nepotismenya.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi tidak menyentuh pada persoalan dasar, yaitu soal terlanggarnya hak-hak rakyat untuk punya kesempatan pekerjaan yang lebih layak, hidup lebih sejahtera, mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi, tapi lebih berwajah persaingan siapa yang berkuasa akan leluasa bermain-main dengan keuangan negara dan/atau perekonomian negara.
Sedangkan yang berlawanan dengan kepentingan yang berkuasa bila memiliki kekuatan yang berpotensi mengganggu/berbahaya bisa berujung pada kriminalisasi/penyanderaan politik kepada politisi dan nepotismenya atau siapa pun yang memiliki akses terhadap keuangan negara dan atau perekonomian negara.
Saya sepakat dengan Chandra Hamzah dan Amien Sunaryadi bahwa perbuatan korupsi itu yang paling prinsip adalah soal ada/tidaknya unsur ”menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain” tanpa harus selalu diembel-embeli merugikan negara atau tidak.
Dengan kata lain, sekalipun kerugian negaranya tidak terbukti (karena misalnya pelakunya pejabat dan/atau kerabat atau keluarganya menyalahgunakan kewenangan, kekuasaan, serta pengaruhnya melakukan perbuatan melawan untuk memeras pihak swasta, sehingga yang rugi swasta, dan bukan negara) tetap saja itu harus dianggap perbuatan korupsi.