Poesoera: Catatan tentang Organisasi Pergerakan Rakyat Surabaya

Selasa 15-10-2024,14:37 WIB
Oleh: Sarkawi B. Husain*

BEBERAPA TAHUN LALU, saya berkesempatan untuk menghadiri konferensi internasional di Koninklijke Instituut Taal, Land, and Volkenkunde (KITLV) Leiden, The Netherlands. Konferensi yang digagas The Netherlands Institute for War Documentaion (NIOD) tersebut berbicara tentang The International Conference on The Decolonization of The Indonesian City (1930–1960) in Comparative (Asian and African) Perspective

Sehari setelah konferensi berlangsung, saya berkesempatan mengunjungi perpustakaan KITLV yang menyimpan banyak sekali buku, majalah, dan peta tentang Indonesia, termasuk Surabaya. 

Di tengah keasyikan membuka katalog yang tersedia di perpustakaan, mata saya tertuju pada sebuah katalog: Title: Soeara Poesoera: madjallah boelanan oemoem Suara Pusura/Year: 1938-.../Request number: TS 3236 [K260F]. Ketika majalah tersebut sudah di tangan saya, perasaan bahagia, senang, dan haru bercampur jadi satu.

BACA JUGA: Kota Lama di Surabaya, Sekadar Fenomena Hit ataukah Landmark Kota?

 BACA JUGA: Proyek PSN Surabaya Waterfront Land, Kepentingan Siapa?

Saya sering mendengar organisasi itu, tapi tidak pernah membayangkan kalau organisasi yang berdiri pada 26 September 1936 tersebut memiliki majalah yang sangat bergengsi. Apalagi, saat itu harus berhadapan dengan pemerintah Belanda yang memiliki sensor ketat atas semua terbitan di Hindia Belanda. 

Kehadiran majalah yang terdiri atas lima edisi tersebut juga membentangkan sebuah fakta di baliknya bahwa Pusura atau Poesoera adalah salah satu organisasi besar di zamannya. Bahwa majalah tersebut kini berada di Perpustakaan KITLV Leiden, Belanda, adalah bukti lain betapa pentingnya keberadaan lembaga yang didirikan para tokoh pergerakan dan pejuang dari Kota Surabaya. 

Mereka, antara lain, dr Soetomo, Dr Soewandi , KH Mas Mansyur (pendiri Muhammadiyah), Roeslan Abdul Gani (politikus PNI dan tokoh tiga zaman), dan Doel Arnowo (wali kota pertama pasca penyerahan kedaulatan). 

BACA JUGA: Narasi dari Balik Kampung Kota Peneleh, Surabaya

BACA JUGA: Surabaya Menuju Ekonomi Hijau

Bergabungnya para tokoh dan akademisi dalam sebuah organisasi sosial seperti Poesoera adalah implikasi dari pendidikan yang diterapkan Belanda yang kemudian menghasilkan elite-elite baru. 

Sebagian elite baru tersebut membentuk dan membangun kekuatan yang kemudian ”berseberangan” dengan pemerintah kolonial. Dengan demikian, pendidikan yang diterapkannya justru menjadi bumerang bagi sistem kolonialnya.

Menurut Harry J. Benda, pendidikan Barat betapa pun baik maksudnya telah bergabung untuk melepaskan angin topan reperkusi-reperkusi yang  tidak terduga yang akan mengancam landasan utama masyarakat kolonial itu sendiri. 

Dengan kata lain –kata Benda– gelombang perubahan telah berjalan makin cepat dari sebelumnya, akan tetapi semuanya melimpah keluar kerangka tujuan yang telah digariskan para penganjur politik etis (Benda, 1980). 

BACA JUGA: 8.000 Warga Surabaya Non-WC Banding India

Kategori :